Lisa hanya tertegun, ia telah lelah, dalam genggamannya
ada berbagai macam obat dan di hadapannya ada segelas air putih. Penyakit kanker darah yang dideritanya seakan
telah menghabiskan energi tubuhnya, merenggut jiwanya, menghilangkan senyum
manisnya. Lisa terkadang ingin
menyelesaikan semuanya, ia ingin beristirahat dengan tenang, namun ia tak mau
orang yang disayanginya meneteskan air mata karenanya.
Penderitaan Lisa ditambah dengan kepindahannya ke
Bogor. Ia tak punya teman. Ia sendiri, sepi. “Bogor
memang indah, hawanya yang sejuk akan menenangkan hati siapa pun yang ada di
sini, tapi apakah akan bermakna jika hanya sendiri melewatinya?” ujar Lisa
dalam hati.
“Lisa?” panggil ayahnya.
“Iya, Yah?” sahut Lisa seraya keluar dari kamarnya.
“Ini ada tetangga kita yang baru, Nak. Ayo berkenalan dulu, Sayang,” ajak ayah Lisa.
“Iya, Yah, aku datang.” Lisa menghampiri ayahnya yang
sedang berbincang di ruang tamu dengan dua orang anak SMA seumurannya.
Melihat Lisa muncul, Ayah langsung menyambutnya. “Lisa,
perkenalkan, ini Anita dan yang ini
Kevin. Mereka yang akan menjadi temanmu
di sini. Ayah telah memasukkanmu ke
sekolah mereka. Semoga kau senang, ya, Nak.”
“Halo, salam kenal, namaku Lisa. Senang bertemu dengan kalian. Semoga kalian bisa menjadi sahabatku yang
baru,” ucap
Lisa seraya tersenyum bahagia.
“Tentu,” sahut Anita dan Kevin.
Di ruang tamu itu terdengar tiga orang anak berbincang begitu lamanya. Desau angin menggerak-gerakkan gorden pada
jendela seolah ingin ikut berbincang melihat kebahagiaan Lisa yang menemukan
teman baru. “Semoga mereka akan menjadi sahabat yang menyayangiku apa adanya,” batin Lisa. Namun, ada satu hal yang aneh,
Lisa terus memegang dadanya. Detak
jantungnya sangat cepat berdetak. Lisa
terlihat gelisah, keringatnya perlahan
menetes. Saat akhirnya Anita dan Kevin
pulang, Lisa kembali normal, ia merasa tenang.
~~~
“Aku sudah betah di sini, Ayah. Aku enggak mau pindah lagi!” bantah Lisa di tengah
tangisnya.
“Penyakitmu semakin parah, Nak. Kamu harus pergi bersama Ayah ke Singapura,
semua demi kesehatanmu, Sayang. Ayah
tak ingin melihatmu tersiksa,” ucap Ayah lirih.
Lisa pergi ke kamarnya.
Diiringi tetes air matanya, Lisa membereskan barang-barang. Kepindahannya ini begitu mendadak. Ia tak sempat memberi tahu Anita maupun
Kevin. “Selamat tinggal, Anita, Kevin.
Terima kasih telah menjadi sahabatku yang baik. Terima kasih, Kevin,
selalu membuat detak jantung ini berlagu. Aku akan merindukanmu,” tuturnya dalam hati. Malam ini juga ia harus terbang ke Singapura. Satu hal yang menjadi beban pikiran Lisa, ia
kehilangan bukunya, buku yang selalu dibawanya, tidak ada di seluruh sudut
rumah. Ia khawatir, buku itu sangat
penting dan rahasia.
~~~