Tuesday, 25 June 2019

Berbahagialah, Selalu

            Setelah tahun demi tahun berlalu tanpa pernah bisa menahan cepatnya dia melaju, akhirnya datanglah kesempatan itu—menyampaikan sesuatu padamu. Aku sudah menunggu kesempatan itu begitu lama setelah segalanya tak lagi tersisa. Namun, apakah sebenarnya yang selama ini kita miliki? Bertahun-tahun lalu, kita hanya pernah berkhayal untuk hidup bersama dan berbahagia selalu.


Aku telah menyiapkan semua. Aku takkan gentar berhadapan denganmu meski jantungku tentulah berdebar. Bagiku, yang terpenting adalah aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang selama ini mengisi benak—kau apa kabar? Manakala aku teringat kau, yang kuharapkan selalu sama—berbahagialah, selalu.
            Tingginya bangunan dan panjangnya jalan yang melintang tak lagi menjadi penghalang ketika dua hati menginginkan sebuah pertemuan. Tuhan akan meringkas jarak dan waktu untuk kita agar bisa menyelesaikan segalanya. Aku taktahu apa yang sebenarnya belum selesai. Perasaanku? Tentu saja itu tak pernah selesai. Namun, apa yang tak pernah selesai darimu? Sejak dulu, aku sudah mengatakan bahwa tak usah peduli. Biar saja aku menjadi satu yang selalu di sini. Bagaimana pun keadaanku, kau berbahagialah, selalu.
             Ketika akhirnya kita dapat saling berhadapan sebagai dua orang yang pernah mengukir kenangan, rasanya tak ada yang harus diselesaikan. Bukankah kita telah mengubur dalam segala rupa perasaan? Bukankah tak ada lagi yang tertinggal karena semuanya telah terlupakan? Terkadang ingin kulemparkan sebuah penyangkalan, tetapi dua bibir yang selalu tersenyum padamu justru terkatup rapat kenyataan. Sekali lagi, yang meluncur hanyalah dua kata—berbahagialah, selalu.
            Demi engkau yang telah bahagia dengan hidupmu sekarang, maaf karena aku masih tak menurutimu yang memintaku untuk melupakanmu. Maaf aku tak pernah membuang seatom pun perasaan. Maaf aku masih mengabadikan segala kenangan. Maaf aku membohongimu, memutarbalikkan kenyataan. Maaf aku masih menjadikanmu sosok impian. Maaf karena hingga detik ini, yang terpenting bagiku adalah kebahagiaanku. Kau tentu tahu bahwa kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku. Maka, berbahagialah selalu.
            Kita telah sepakat untuk menjalani hidup masing-masing seperti dulu ketika kita masihlah dua orang asing. Kita telah sepakat untuk berjuang bersama demi hidup yang—menurutmu—akan lebih baik jika tak kita jalani bersama. Kita telah sama-sama tahu bahwa yang utama adalah saling baik-baik saja. Bukankah kerap kali, yang kita minta adalah untuk menjaga diri dan melanjutkan hidup dengan baik? Seperti apa pun, di mana pun, kita sama-sama mengatakan hal serupa—berbahagialah, selalu.
            Sadarkah kau apa yang membuat kita selama ini seakan-akan terikat dan tak pernah selesai? Mungkin, mungkin saja jiwa kita yang terikat. Bukan hanya hati, andai kautahu. Maka, biarkan Tuhan mengatur segalanya tanpa kita harus—lagi-lagi—berusaha menyelesaikan apa yang sebenarnya takkan pernah bisa usai. Kita hanya perlu berbahagia, selalu.


            Di antara senyum dan tawamu yang takkan pernah lagi kulihat, aku masih merasa bahwa kau begitu dekat. Tanpa sekat. Lekat. Maaf aku masih akan menitipkan salam pada semesta agar selalu menjaga senyummu setiap saat. Maaf, sungguh maaf karena cintaku padamu tak pernah mengenal kata tamat. Maaf karena aku akan selalu mencintaimu hingga setelah akhir hayat. Maaf karena aku selalu mengharapkanmu untuk berbahagia selalu.
            Entah berakhir dengan apakah kita, ketika yang utama bagi kita adalah kebahagiaan satu sama lain. Masihkah cinta itu ada—juga—di hatimu? Sejak dulu, aku tak terlalu mengharapkan itu. Aku tak peduli meski kau takkan pernah melihatku lagi. Aku telah memutuskan untuk menjauh, membiarkanmu menemukan kebahagiaan—yang bukan aku. Maaf aku pernah berkeras untuk membahagiakanmu ketika sesungguhnya kau tak bahagia bersamaku. Maaf aku merasa bahwa kau selalu mencintaiku kala ternyata detik ini tak kutemukan lagi cinta itu di dalammu. Tak apa, yang penting, berbahagialah selalu.
            Aku takkan lagi ada di hidupmu yang kini telah jauh lebih berwarna—tanpaku. Aku telah memutus segala temali yang meliliti. Aku telah memangkas segala yang tak pantas. Aku benar-benar telah melepas, menerbangkan kau dengan bebas. Meski sejatinya sejak dulu kau tak pernah kugenggam, tetapi ketika terpisah darimu, sungguhlah hatiku menjadi lebam, jantungku seolah-olah merosot, jatuh berdebam. Namun, tak usah kaupikirkan. Hanya satu yang harus selalu kauingat dariku, yang harus selalu kaulakukan demi memenuhi keinginanmu jua. Berbahagialah, selalu.

No comments:

Post a Comment

THEME BY RUMAH ES