Kau kutemukan tatkala hati ini tak lagi miliki bentuk yang beraturan. Di luar dugaan, ketika hidup seperti takkan pernah kembali terasa nyata, kaulah yang hadir begitu nyata. Kau bahkan tak harus melakukan sesuatu untuk memekarkan perasaan. Benih-benih yang tertanam jauh di ladang jiwa seketika bersemi menyambut senyummu yang berseri.
Kau kutemukan saat tubuh ini sekarat.
Seperti pohon yang tidak selamanya kukuh, diri ini pun nyaris terbunuh.
Berulang kali terjatuh, tetapi hidup tidak membiarkanku mencurangi kematian
kendatipun rasanya takkan pernah lagi bisa menjadi sosok yang utuh. Namun, menemukanmu
membuatku tahu jika masih ada sesuatu yang dapat tumbuh.
Kau kutemukan setelah aku
berkali-kali patah dan ingin menyerah. Rasanya bak mempunyai harapan baru, tetapi
kepadamu aku takkan menaruh harap, barang tentu. Telah begitu banyak luka;
berharap pada sebentuk rasa adalah duka yang baka. Biar saja aku menanggung
segalanya sendiri. Rindu pun menyerang tanpa kenal waktu, tetapi tidak ada yang
bisa kulakukan tentang itu barang satu. Biar pula kupendam seorang diri.
Kau kutemukan ketika hari yang seharusnya menjelang
terasa takkan pernah datang. Mungkin memang harus begini. Demi takdir yang
menuntunku padamu, harus gugur sebagian diriku. Demi bertunasnya asa yang baru,
menggugurkan daun hati yang kering adalah perlu. Kini aku menginsafi bahwa untuk
sampai di sini, harus kubuang napas masa lalu dan kuhirup napas masa depan.
Kau kutemukan saat bahagia terasa
kata belaka. Betapa sederhana ternyata mendengar tawamu mampu terbitkan simpul
senyum di wajahku. Kau ... sesuatu. Tak butuh waktu lama untuk menyadari jika denganmu
aku ingin berlama-lama. Kau mengalihkan duniaku—yang nyaris punah dimamah kenyataan
tak ramah.
Kau kutemukan manakala aku paham
bahwa berdua tidak harus bersama. Sepertiku, sepertimu, yang tidak akan bisa
habiskan waktu bersama-sama. Tetaplah menebar semangat dan harum mewangi.
Tetaplah menjadi hebat dan warnai hari-hari. Tetaplah menyebar kebaikan dan
bertingkah laku tenang.
Kau kutemukan sebelum aku sempat melepaskan semua lara.
Masih ada yang tersisa, tetapi aku tidak ingin membuatmu tahu bahwa waktu tidak
pernah benar-benar menyembuhkan luka; ia mengajarkanku apa artinya menerima dan
merangkul semuanya. Perasaanku jua, tidak akan pernah kautahu karena ini
urusanku.
Kau kutemukan pada waktu yang tepat
sekaligus terlambat. Kalau saja kita saling mengenal bertahun-tahun lalu, mungkin
sedikitnya kita akan punya kesempatan. Meski demikian, sekarang pun bagiku
tidak apa-apa. Kau telah menjadi cahaya baru, yang menuntunku melangkah di
tengah kegelapan.
Kau, yang kutemukan, yang mungkin
tidak akan pernah bertemu denganku, umpama bulan yang tidak selalu purnama,
tetapi miliki hari-hari pasti untuk benderang. Andai kautahu, kau jugalah satu
dari rangkaian patahku. Kau adalah luka masa depanku. Walaupun begitu, aku tetap akan melihat ke
arahmu, kepada wajah bulan yang selalu sama, sebab dalam diri kita mengalir
darah yang sama.
No comments:
Post a Comment