Di kota tempat kita kali pertama berjumpa, aku ingin menyampaikan sekali lagi saja. Banyak yang terjadi selama ini, terlalu banyak jika harus kubuat senarainya. Lagi pula, seperti apa pun aku berusaha menuangkanmu ke dalam kata-kata, tak pernah aku berhasil menggambarkan semua tentangmu, juga tentang kita, yang melampaui segala kata. Kita sama-sama tahu bahwa yang tak terucapkan adalah yang justru tersampaikan. Ingatkah kau manakala sepasang netra kita saling bertaut, sementara senyum menyambut dan detak jantung bersahut?
Di kota tempat kita kali pertama berjumpa, terlalu banyak kenangan hingga saat cerita kita harus selesai, aku memutuskan untuk pergi, menjauh, berlari; takingin aku kerap dihantui semua memori. Kita ingin hilang ingatan, saking sulitnya melupakan satu sama lain. Kita berusaha dengan segala cara untuk tidak pernah terhubung lagi, melalui apa pun itu. Kita harus berhenti sebelum terbawa arus yang dengan gigihnya menggerus.
Di kota tempat kita kali pertama berjumpa, adalah jalan buntu yang kita lihat. Di depan sana, seperti tak ada kita; bertahun-tahun lalu kita berkata demikian. Kini, aku benar melihatnya. Setelah lintas tahun, tidak ada kita pada masa kini. Lalu, bagaimana dengan bentang waktu ke depan? Bisakah kita lagi-lagi mengatakan hal yang sama; takkan pernah ada kita? Akan tetapi, kita lupa satu yang senantiasa terjadi; keajaiban.
Di kota tempat kita kali pertama berjumpa, aku yang sengaja
pergi darimu, pada akhirnya melihat kau yang menantiku pulang. Terkadang aku
merasa ada pintu yang selalu terbuka, ada ruang yang selalu disediakan, tetapi
kita seperti kerap memilih ruang yang lain. Begitu rumit kita, padahal
sebenarnya hati kita, perasaan kita, amat sederhana. Cinta saja tidak cukup,
bukan?
Di kota tempat kita kali pertama berjumpa, rangkaian kehidupan bergulir, di duniaku, di duniamu. Harus bagaimana kita agar bisa kembali layaknya dahulu, tatkala semua hanya perkara tulusnya rasa dan sepotong bahagia? Melihat tawamu, kapan lagi aku bisa? Memandang senyummu yang khas, apakah suatu hari akan kualami lagi?
Di kota tempat kita kali pertama berjumpa, aku tersadar sesuatu yang tidak akan pernah hilang dari seutuh jiwa. Aku
mencintaimu; aku butuh waktu untuk sekali lagi mencintaimu. Apabila hanya inilah satu-satunya
kesempatan yang kupunya, telah kugulung waktu—sekali untuk mewakili masa lalu,
masa kini, dan masa depan—demi mengutarakan sesuatu yang amat berharga bagiku. Aku ingin merayakannya untuk kali ini saja.
Di kota tempat kita kali pertama berjumpa, ada sepenggal rasa ingin tiada. Namun, tidak, aku tidak pernah menyesali apa pun tentang kita. Apa-apa yang telah terjadi, juga yang akan terjadi pada masa depan, kita sudah sepakat—memutuskannya bersama-sama dengan segala pertimbangan, melibatkan hati dan logika. Aku tidak pernah mengenangmu sebagai luka yang membuatku tersiksa, alih-alih mengingatmu dengan senyum mengembang di wajah. Kenangan terindah, semanis-manis memori, itulah kau. Kisah kita, bagaimana pun akhirnya, adalah kisah terbaik yang pernah kumiliki seumur hidup.
Di kota tempat kita kali pertama berjumpa, kendatipun taktinggal di sini lagi, sejatinya kau selalu tinggal di hatiku. Aku tahu kau telah menemukan sosok yang membuatmu bahagia, lebih dari yang pernah kulakukan padamu. Walaupun hingga detik ini terasa masih ada yang mengikat kita begitu erat, kita tetap tak bisa lebih dekat. Sebatas ini saja, sebatas yang pernah kita lalui selama beberapa waktu ke belakang, maka ke depan pun demikian.
Di kota tempat kita kali pertama berjumpa, kelak, jangan pernah ragu untuk menyapaku jika kita bersua. Di semesta yang lain, kita tahu kita senantiasa bersama di kota mana pun, di bumi mana pun kita memilih berpijak dan berbagi cerita, sejak lama sampai selamanya. Kautahu, akulah masa kini yang pada masa lalu memimpikan menjadi masa depanmu.
No comments:
Post a Comment