Aku hampir menyerah, tetapi sungguh tidak ingin kalah. Aku masih ingin bersusah payah dalam mengartikan segala polah. Dia yang sulit kupahami membuatku paham bahwa aku tidak bisa berhenti di sini, tidak sampai aku memiliki jiwa yang lebih besar untuk meraihnya yang nun jauh di sana.
Tidak bisa kuterima begitu saja kenyataan bahwa aku harus kehilangannya. Perihal kehilangan, aku telah berkali-kali merasakan. Dengan dirinya aku belum sempat mengenal lebih jauh dan semua tiba-tiba runtuh. Aku masih belum pulih, tetapi kembali harus tertatih-tatih. Luka yang masih menyisakan perih, sekonyong-konyong tertaburi garam yang membuatnya makin pedih.
Belum sepenuhnya aku menjadi diriku, belum semua kepingan diri ini kutemukan dan kususun kembali hingga bisa menjadi seutuhnya diriku. Belum sempat aku menemukan diri sendiri lagi, sampai harus menemukan jejak-jejak yang dia tinggalkan.
Aku ingin melihatnya terbang, berdiri di sampingnya tatkala mimpi itu berhasil dicapainya. Dia mendiami kepalaku setiap mentari terbit dan aku menjaganya dalam hati setiap gelap menggelayuti langit. Aku tidak ingin jatuh terlalu jauh sebab untuk kembali teguh, aku belum benar-benar mampu.
Bagaimana caranya mengatakan padanya bahwa tanpa kusadari, dia telah menjadi bagian penting dariku? Manakala kutatap bulan yang terang bersinar dan ufuk timur dengan semburat cahaya yang memijar, ada dia yang ingin kukejar.
Mungkin waktu yang tidak tepat—ingin aku menyalahkan. Kalau saja segalanya lebih mudah, kalau saja diri ini sedang tidak terkoyak parah, mungkin tidak akan ada hati yang patah. Kini aku sudah terlambat, semua pintu telah tertutup rapat; aku terkatung-katung sendirian di depan kehampaan, udara terasa pampat.
Jika kesempatan kedua itu benar adanya, aku sungguh ingin bertaruh. Tunggu aku sembuh hingga yang bisa kulakukan terhadapnya adalah terus bersikukuh. Namun, jika memang tidak ada, mungkin dunia yang ingar bingar memang gemar membuatku memar.
Ingin aku memeluk duka dan menghapus segala yang singkat dengan derita yang lebih kuat. Ingin aku tenggelam dalam kelam tanpa harus kembali ke permukaan karena kebahagiaan akan terasa begitu menyilaukan. Sayangnya, aku menyayanginya. Dia; kata-kata yang tak terucapkan. Dia; yang ingin suatu hari kurasakan kehadirannya.
No comments:
Post a Comment