Langit tidak lagi cerah biru, kini keruh dipenuhi kumpulan debu. Arakan awan ingin menari riang, tetapi terhalang, mata pun tak bisa memandang. Namun, bahkan di bawah langit yang seperti itu, aku masih tidak bisa menyingkirkanmu, di bentang mega masih kenangan tentangmu jelas terjaga. Kali terakhir aku menginjakkan kaki, langit masih biru meskipun aku taktahu apakah di sana kau masih ada.
Di sini, kicau burung kerap terdengar, di cakrawala mentari bertakhta tanpa cela; hujan tidak mau mampir barang sebentar. Malam yang kulewati tidak terasa berbeda, tetapi pagi menjadi lebih panjang. Detik demi detik berdetak sempurna, iramanya konstan dan aku mendengarkan kesendirian. Sunyi tidak pernah terasa selengang ini. Dahulu selalu begini, apa yang harus dipermasalahkan? Satu-satunya yang pasti di hidup ini adalah perubahan. Orang-orang datang dan pergi, orang-orang akan berubah suatu hari. Seperti juga dirimu, tidak tetapi diriku.
Kehilangan adalah nama tengahku; nama belakangmu mungkin tidak akan pernah menjadi nama belakangku. Kendati demikian, nama tengahmu dan nama belakangku sudah seperti saling menahu; apakah kita benar-benar ditakdirkan bersilangan karena itu? Aku selalu mencari tahu, berusaha meyakinkan diri jika kau dan aku bukanlah semata kebetulan; kita benar.
Benarkah aku kehilanganmu? Kau, yang raganya sekejap pun tak pernah kulihat. Kau, yang jiwanya sedetik pun tak pernah kurasa. Kau, sebentuk gelombang suara yang membuat senyumku mengembang. Kau, sekelumit rumit kalimat yang takingin kutemui kata tamat. Kau, yang tak henti berlari-lari dalam kepala dan aku bertanya-tanya apakah kita nyata?
Kalaulah aku dapat menyampaikan semua yang tersirat, kita tidak harus sebegini sekarat. Segalanya terlambat, tinggal sisa-sisa yang berkarat. Mungkin aku tidak pernah bisa memahamimu; sejak kapan aku bisa mengerti sedikit saja akanmu? Seperti Odysseus, kau banyak akal dan menghadapimu membuat otakku terjungkal.
Ingin aku membuatmu senang, tetapi ternyata kau berakhir berang. Sungguh mati aku ingin mencerahkan harimu, tetapi rupanya kau menyukai kegelapan. Berkali-kali aku mencoba segala cara untuk menjelaskan semua, tetapi kita tidak ada dalam ruang pemahaman yang sama. Kau tidak lagi repot-repot peduli padaku, sementara aku bukan main sulitnya mengenyahkanmu.
Pergilah, jika dengan meninggalkanku kau lebih bahagia. Selama ini, bagimu aku hanya beban, bukan? Dalam upaya mengenalmu, rasa lelah tak kunjung mengenalku. Namun, di pintu mana pun aku mengetuk, diri ini seolah-olah terkutuk; tidak ada satu pun yang terbuka dan membiarkanku masuk. Akan tetapi, aku tidak peduli. Hanya karena kau tak lagi ada, bukan berarti aku hilang tak bersisa.
Kita tidak memiliki apa-apa. Mungkin sesungguhnya aku tak pernah kehilangan apa pun, kecuali kau mengingat dengan lekat satu jam hangat kala itu; aku mengingatnya sepanjang hayat. Satu jam yang hilang di atas awan, satu jam yang hilang dalam sebuah penerbangan, satu jam yang hilang di antara pergi dan pulang, satu jam yang hilang ditelan satu menit kesalahpahaman. Kita hanya punya satu jam; satu jam yang hilang.
No comments:
Post a Comment