Bayu
langsung tancap gas setelah melihat foto yang diunggah Hana. Sahabatnya itu
pasti tidak baik-baik saja. Si perempuan keras kepala itu dijamin sedang
sendirian sekarang dan dalam beberapa waktu ke depan akan menghilang dari peradaban.
Sungguh merepotkan.
Setelah beberapa menit mengarungi macetnya jalanan, Bayu sampai di tempat tujuan. Ketika memarkirkan motor, dia teringat bagaimana cara Hana mengajaknya bertemu di tempat itu, selalu dengan: “jam dan tempat biasa”. Saking teraturnya hidup sahabatnya itu, tempat mereka bertemu tidak pernah berubah.
Memasuki kafe favorit Hana, Bayu berjalan ke
meja yang sudah dihafalnya sejak lama. Lihat, kan? Dia pasti duduk di meja
sudut itu, menghadap jendela. Hana pernah bilang, “Orang besar itu harus
memiliki sesuatu yang unik, menjadikannya ciri khas.” Bayu tersenyum
mengingatnya, Hana yang kecil itu memang “orang besar”. Derap langkah Bayu
menuntunnya mendekati meja.
“Yang bener aja, lo mau enggak tidur seharian?”
protes Bayu saat melihat dua cangkir di meja Hana, keduanya hanya menyisakan
sedikit. Itu yang luput dari fokus Hana. Biasanya dia paling teliti terhadap
apa pun, tetapi hari ini dia lalai karena tanpa sadar dua cangkir itu
tertangkap layar ponselnya dan dia mengunggah foto itu.
Bayu mengangkat cangkir yang berisi cairan
hitam dan memelototi Hana yang tertunduk diam. “Dua cangkir kopi, lo kenapa,
Hana Edelia?”
“Duduk dulu bisa?” Seperti biasa, Hana menjawab
pertanyaan dengan pertanyaan.
Setelah meletakkan kembali cangkir dan menghela
napas, Bayu akhirnya duduk di depan Hana, memandangi perempuan itu dengan
perasaan sedikit khawatir. Sedikit saja karena rupanya Hana masih bisa
merespons dengan cara menyebalkannya itu. Dasar manusia rumit bin sulit.
“Gue pesenin lo minuman dulu, ya,” ucap Hana
beranjak.
Bayu hanya mengangguk sembari memperhatikan
Hana berjalan menuju tempat pemesanan. Dari caranya melangkah, Bayu mendeteksi
ada yang tidak biasa. Ke mana Hana yang biasanya berjalan cepat dan riang?
Apa-apaan langkah gontai dan pelan itu?
Selang beberapa menit, Hana kembali dengan
minuman di tangan. Dia meletakkan segelas es mokacino di depan Bayu kemudian
duduk dengan lunglai.
Dahi Bayu mengernyit heran. Apa pula ini? Sebelas
tahun bersahabat dengan Hana, tidak pernah sekali pun perempuan itu salah
memesan minuman untuknya. Mungkin ada yang salah dengan otak sahabatnya itu.
“Kapucinonya habis?” Bayu mencoba bertanya,
mengetes memori di otak Hana.
Hana meliriknya bingung. “Kapucino? Gue
pesennya, kan, mokacino.”
Benar-benar di luar nalar. Setelah tidak
bertemu setengah tahun, Bayu berpikir jangan-jangan Hana kena amnesia. Kalau
barisan nama mantan pacar Bayu yang jumlahnya belasan dan sudah lapuk dimakan
waktu saja Hana selalu hafal, bisa-bisanya Hana lupa minuman favoritnya.
“Kenapa lo enggak bilang kalau hari ini
pulang?” tanya Bayu mengalihkan pikirannya.
“Bilang juga enggak ngaruh apa-apa,” balas Hana
pelan.
Tunggu, tunggu. Bukan itu harusnya jawaban yang
keluar dari mulut Hana. Bayu makin bingung. Tanggapan sejenis “Kalau gue
bilang, nanti lo datang, males, ah”, “Sori,
lo enggak diajak”, dan “Harus banget bilang sama lo?” yang Bayu harapkan.
“Enggak mau disamperin sama gue gitu
maksudnya?” Bayu kembali mengetes. Harusnya cara itu manjur.
Hana menyesap kopi hitamnya yang sudah dingin,
menelannya pelan, kemudian menjawab, “Dasar aneh. Si paling sibuk.”
Nah, kan! Bayu rasanya ingin meninju langit.
Ini baru Hana-nya. “Iya, gue belum lupa sama lo, masih sayang sama lo, kangen
juga sama lo.”
“Berengsek.” Singkat, padat, dan jelas.
Jelas sekarang Bayu terpingkal-pingkal. Siapa
pun yang belum mengenal Hana pasti dibuat pening dengan ucapan dan tingkah
lakunya. Untung dia sudah bersahabat dengan Hana sejak perempuan itu masih
remaja ketus pelit berkata-kata. Untung dia sudah menghabiskan waktu dengan
makhluk yang sulit menyampaikan perasaannya itu. Untung dia selalu tahu apa
maksud di balik kata-kata Hana.
Merasa kesal karena Bayu begitu puas tertawa,
Hana mendesis, “Pulang sana, lo malu-maluin, berisik.”
Bayu seketika berhenti, mengatur napasnya.
Melihat hanya ada dua cangkir kopi di meja tanpa sepiring pun makanan, Bayu
bertanya, “Lo udah makan belum?”
“Demi motor berisik lo yang meresahkan itu, enggak
ada perta—”
“Oke, oke, gue tahu itu pertanyaan enggak
penting menurut lo, tapi please,
jawab gue kali ini aja.” Bayu sontak memotong sebelum Hana mengomelinya.
“Ya masa gue belum makan, sih?” timpal Hana.
Itu Hana. Ya ... itu Hana, tetapi tidak seratus
persen Hana. Sejak kapan perempuan itu dengan mudahnya menuruti permintaannya?
Pasti ada salah satu saraf di otak perempuan itu yang terputus. Bayu harus
mencari cara agar Hana mau menceritakan apa yang sedang terjadi.
“Lo lagi kenapa, sih, Na?” tanya Bayu tanpa
tedeng aling-aling.
Bukannya menjawab, Hana malah menunduk lesu di
atas meja, membenamkan kepala di kedua lengannya yang terlipat. Hening beberapa
detik hingga akhirnya Hana lirih bersuara, “Bayu ....”
Bulu kuduk Bayu kontan berdiri. Kalau Hana sudah memanggil namanya dengan nada seperti itu .... Bayu segera berdiri dan kini duduk di samping Hana. Dia mengatakan dengan lembut, “Nih, gue pinjemin bahu gue buat lo nangis.”
Biasanya, biasanya, Hana akan dengan cepat
mendorong Bayu menjauh dan memberinya tatapan membunuh. Namun, kali ini,
perempuan itu malah mengangkat kepalanya dan memandangi Bayu tanpa suara. Dia
bahkan tidak mendorong Bayu atau menyuruhnya menjauh.
“Thanks,
ya,” ungkap Hana dengan mata yang mengandung berbagai makna.
Bayu membelalak ketika merasakan kepala Hana
yang kecil itu di bahunya. Kalau besok adalah Jumat, dapat dipastikan esoklah
akhir kehidupan alias kiamat. Untungnya hari itu adalah Sabtu, masih ada
beberapa hari lagi untuk menjemput kematian.
Tidak ada yang berbicara di antara keduanya
selama beberapa menit. Bayu seketika menjadi batu ketika Hana yang batu itu
tidak lagi sekeras batu. Sebenarnya dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak
ingin mengganggu diamnya sahabat yang sedang dilanda bencana itu.
“Jangan bilang-bilang,” bisik Hana memecah
keheningan.
Angin bertiup, pelan, seiring dengan apa yang
Hana ucapkan. Bayu melirik perempuan itu sekilas, lalu dia mengangguk. Tidak,
dia tidak akan mengatakannya pada sahabat-sahabatnya yang lain. Dia tidak akan
membiarkan bahkan satu saja manusia di muka bumi ini mengetahui apa yang
terjadi.
“Cerita aja, lo selalu punya gue, enggak akan
ember, dijamin,” timpal Bayu.
Hana kembali menegakkan kepala, kali ini
menoleh pada Bayu yang memandanginya dengan serius. “Lo kenapa balik lagi
setelah jadi bajingan selama tiga tahun?”
“Ha?” Tidak bisa disembunyikan lagi oleh Bayu,
respons spontan dan mulutnya yang menganga.
Hana memutar mata dengan malas. “Ternyata pas
gue lagi bodoh begini, lo tetep masih lebih bodoh, ya. Heran.”
“Ma-maksud gue ...,” sahut Bayu gelagapan, “pertanyaan
lo cukup ... apa, ya? Mengherankanlah, ya, biar sama kayak lo yang heran sama
gue.”
Perempuan di depan Bayu itu menaikkan alis, menanti jawaban. “Jadi?"
Cukup panjang Bayu menarik napas sebelum
menceritakan, “Oke. Pertama-tama, gue minta maaf karena pergi gitu aja tanpa
pemberitahuan, tanpa jelasin apa pun, tanpa ngasih kesempatan buat lo untuk
sekadar bertanya ‘kenapa?’. Jelas, gue bangsat, bajingan, you name it.”
Bayu
berhenti sejenak, menantikan apakah dia akan dimaki-maki oleh Hana. Ternyata,
Hana mendengarkan. Aneh juga rasanya setelah hidup dua puluhan tahun, Hana
tetap menjadi seseorang yang memiliki kemampuan untuk mendengarkannya,
benar-benar mendengarkan. Dunia ini butuh lebih banyak orang seperti Hana.
“Waktu itu emang gue ngejauhin lo, ngejauhin
kalian, sengaja. Gue enggak tahu harus jelasinnya gimana, tapi yah, pada satu
titik, gue akhirnya sadar kalau lo enggak salah, kalau persahabatan kita yang
udah di ujung tanduk itu masih bisa diselamatkan karena anak-anak bilang lo
enggak nyerah walaupun mereka udah muak sama gue.”
Teringat
lagi masa itu, sebenarnya ada satu alasan kuat mengapa Bayu akhirnya kembali.
Dia ingin mengatakannya, tetapi ekspresi Hana berubah setelah perempuan itu
mendengar apa yang baru saja diutarakan Bayu.
“Ya gimana enggak muak kalau lo bertingkah
kayak makhluk laknat?” Memang Hana memiliki kemampuan berkata-kata di atas
rata-rata. “Hm, tapi maksud gue, lo bisa aja enggak pernah balik lagi, lo bisa
aja ngelupain kami, apalagi gue. Since
I’m the only girl in this crocodile circle,
sebenernya yang perlu lo jauhin, kan, cuma gue, enggak semua anak-anak juga, tapi
mereka jadi kena imbasnya, tapi udahlah, bukan itu intinya. Poinnya adalah
kenapa lo balik lagi, padahal lo tahu gue ngeselin, ribet, batu, re—”
“Baik.”
“—bel.
Ha?” Giliran Hana yang melongo gara-gara omongannya dipotong.
Bayu tersenyum sembari melanjutkan, “Lo baik,
Hana. Emang, sih, seringnya ngeselin, tapi siapa lagi yang bisa tahan sama
kelakuan gue kalau bukan lo? Siapa lagi yang masih mau memperjuangkan seorang
bajingan atas nama persahabatan?”
Sumpah, wajah Hana sebegitu seriusnya saat Bayu
berkata demikian. Dia pun menyambungnya, “So,
thanks for always fighting, Na. Should I say I love you?”
“Tahi
kucing.”
Tawa Bayu sontak membahana, membuat belasan pasang
mata menatap ke arah mereka. Hana yang sedang tenggelam dalam gelapnya lautan
kehidupan, lebih ingin lagi menenggelamkan diri ke inti bumi. Segurat senyum terlukis
di wajahnya, sebuah senyuman yang akhir-akhir ini tidak pernah terlihat,
setitik bahagia yang kembali dirasakannya setelah berjuang mati-matian demi
melawan keinginan untuk mati.
Bayu tersentuh melihat senyum itu. Astaga,
rupanya dia benar-benar merindukan Hana yang berapi-api dan bersinar seperti
mentari. “Enggak adil kalau lo menderita sendiri. Sekali aja dalam hidup, lo
harus egois.”
“Maksudnya?” Kerutan di kening Hana begitu
kentara.
“Hadeh.” Bayu membuang napas dengan ekspresi seperti
ingin membuang perempuan di hadapannya. “Gue males ngobrol sama orang bodoh.”
Hana memandang Bayu dengan sengit, kemudian
menenggak sekaligus cairan hitam yang tersisa di cangkir. Dia berkata tegas, “Bayu
Mueza, gue pernah kehilangan lo, gue pernah ... ah, lo tahulah. Gue udah
kehilangan segalanya. Tahun depan, kita ketemu lagi. Ini bukan maksudnya gue
mau jauhin atau ninggalin lo, ya, enggak pernah terpikir sedetik pun dalam hidup
gue untuk melakukan itu. Gue janji—”
“Lo emang kemasukan setan,” sela Bayu. “Lo enggak pernah sekali pun mengucap kata ‘janji’
sepanjang kita kenal, selama kita—”
“Ya. Gue enggak pernah berjanji sama siapa pun,
kecuali sama diri sendiri,” potong Hana. Dia kini mengambil cangkir yang lain,
menelan sisanya sampai habis.
“Oh, oke, lanjut,” sahut Bayu merasa sedikit
kikuk.
“Gue janji tahun depan saat kita ketemu lagi,
gue enggak kayak gini lagi.” Hana mengatakannya dengan nada yang tidak dapat
dibantah.
Meskipun demikian, bukan Bayu namanya jika dia bisa
begitu saja dibungkam. “Kayak gini gimana maksudnya?”
Hana, tentu saja, sudah tidak punya tenaga
untuk menjawab Bayu yang mengujinya. Dia berdiri dan melangkahkan kaki tanpa
melirik Bayu yang setengah berteriak, “See
you next year, Hana. I miss seeing you be you.”
Sepeninggal sahabatnya itu, Bayu memandangi dua
cangkir kopi yang sudah kosong. Saat pandangannya beralih ke segelas es mokacino,
senyumnya mengembang bebas. Dia yakin, nanti, setahun lagi, Hana akan kembali
ingat untuk memesankannya es kapucino. Hana akan diserbu rasa heran karena bisa-bisanya
sampai lupa bahwa dia tidak suka cokelat, dalam bentuk apa pun itu.
Hana
Edelia, perempuan yang entah karena kecelakaan macam apa hingga bisa bertemu
dengan Bayu, akan kembali padanya, pada semuanya, pada dunia yang sudah
menjatuhkan Hana hingga perempuan itu tidak akan pernah bisa lagi dijatuhkan
oleh siapa pun. Hana tidak akan menyalahi namanya, tidak akan mengingkari,
apalagi mengkhianati diri sendiri. Bayu memercayainya sepenuh hati sebab di
lahan yang tanduslah Hana selama ini bertumbuh.
No comments:
Post a Comment