Besok
Senin. Besok. Senin. Namun, bukankah setengahnya dari Minggu sudah menjadi
bagian dari Senin? Rutinitas Senin: berangkat lebih pagi dibandingkan hari-hari
lain karena fisik harus siap tempur di stasiun bersama banyak tubuh yang
menggempur, rapat mingguan pukul 09.00 WIB, tiba-tiba sudah tengah hari,
waktunya makan siang, kerja lagi, memandangi layar komputer seolah-olah hidup
hanya bergantung pada benda pipih itu.
Hari-hari
berikutnya hanya berbeda pada rapat mingguan. Sisanya tetap sama: berangkat, sampai
di kantor, menjelang petang terdengar suara-suara kelelahan yang siap-siap
pulang, jam kerja pun berakhir, berdesakan lagi di kereta. Tubuh ini digerakkan
oleh dinamika kehidupan. Duduk bersebelahan dengan rekan kerja, tetapi
berbicara tetap melalui aplikasi pesan.
Minggu
yang kumiliki tinggal setengah karena besok Senin. Besok aku harus berjuang
lagi demi bertahan hidup, padahal sebenarnya aku sudah tidak ingin hidup.
***
Kasak-kusuk
terdengar ketika aku kembali dari membeli makan siang. Katanya akan ada
karyawan baru hari ini.
“Cal,
taruhan, yuk.” Radit menghalangi jalanku menuju meja.
Aku
hanya memutar mata dan berkata, “Minggir. Lo ngalangin jalan.”
“Enggak.
Sebelum lo iyain, gue enggak mau minggir,” tandasnya bersikeras.
Mataku
memandangnya dengan kesal. “Jangan mancing, gue lagi lapar.
Lagian, gue enggak pinter taruhan.”
Radit
masih berdiri dan tidak memberikan celah sedikit pun agar aku bisa berjalan.
“Ya udah, ganti. Kita tebak-tebakan. Lo pinter kalau tebak-tebakan.”
“Konteks?”
“Karyawan
baru, cewek atau cowok? Lebih tua atau lebih muda dari kita?” Radit menaikturunkan
alisnya yang seperti ulat bulu.
“Apa
pentingnya? Beberapa jam lagi juga kita bakal tahu,” sahutku masih belum
setuju.
Radit
membuang napas dengan wajah lelah. “Lo kalau lagi lapar emang lemotnya kumat.
Kita, kan, ada meeting di Gedung 48
jam tiga nanti. Jadi, ya enggak bisa lihat karyawan baru itu.”
“Iya,
lagi. Thanks udah ngingetin, tapi
tebak-tebakannya tetep enggak penting, enggak ada ngaruhnya ke kehidupan gue.
Kan, itu karyawan baru di divisi lain,” timpalku masih tidak tertarik.
“Minggir.”
Radit
akhirnya menyingkir dan memberi jalan. Enak sekali rasanya bisa duduk bersandar
sembari menikmati makan siang kali ini. Satu jam istirahat dari delapan jam
bekerja; tidak boleh disia-siakan dengan hal-hal tidak penting untuk kehidupan,
apalagi tebak-tebakan, yang sebenarnya, kalau boleh jujur, aku sudah menebak
ketika Radit bertanya.
***
“Buruan,
lama amat kayak siput,” tegurku melihat Radit yang masih bersantai di meja
kerja.
Radit
berdiri dari kursinya, membuatku bernapas lega karena perjalanan akan memakan
waktu cukup lama. Namun, alangkah ingin kutendang dia saat berkata, “Lo duluan
aja ke bawah, tunggu di lobi, gue ke toilet dulu.”
Setelah
memindai kartu dan menunggu beberapa saat, akhirnya pintu lift terbuka.
Menuruni 40 lantai sendirian dalam balok berdinding baja, kadang aku berpikir,
apakah sebenarnya hidup sebatas rutinitas?
Ting!
Suara
itu menyadarkanku bahwa lift sudah di lantai tujuan. Ketika pintu di
hadapanku terbuka, seseorang sedang berdiri. Mata kami bersirobok sesaat lalu
aku melangkah keluar bersamaan dengan dia yang masuk ke lift.
***
Enam
bulan kemudian.
“Dit,
kok, Mbak Dian udah enggak aktif, ya, kontaknya?” tanyaku setelah berulang kali
mengecek, apakah mata ini tidak salah melihat.
“Lah,
emang lo enggak tahu?”
“Enggak
tahu apa?” Dahiku berkerut bingung.
“Ini
anak satu emang kalau kerja kayak pake kacamata kuda, ya,” balasnya sembari
menggeleng-gelengkan kepala. “Mbak Dian udah enggak di sini.”
Mulutku
menganga. Oh, tidak. Mbak Dian baik hati yang selama ini selalu membantuku
ternyata sudah tidak di sini? Saking banyaknya pekerjaan akhir-akhir ini, aku
sampai tidak sempat menanyakan kabarnya (mengunjungi mejanya bukan lagi hal
yang lumrah karena selama ini semua komunikasi melalui aplikasi pesan).
“Terus
gue harus hubungin siapa? Lo ada kenalan di divisi sana enggak?”
“Lo
kenapa mutasi, sih?”
“Takdir,”
jawabku asal-asalan, padahal aku sudah tidak percaya dengan yang namanya
takdir. Pada zaman digital seperti ini, hari-hari manusia ditentukan oleh
algoritma. Lebih percaya pada kerasnya usaha dan keajaiban media sosial
dibandingkan dengan takdir atau kuasa yang lebih dari itu, begitulah kehidupan
yang ingin kutinggalkan.
Sudah
kubilang, aku tidak lagi ingin hidup; kehidupan sekarang melenyapkan segala
yang bagiku pernah indah dan menyenangkan. Aku lebih suka kehidupan masa kecil
ketika belum mengenal internet. Surat-menyurat dan bertukar pesan melalui
telepon genggam layar hitam putih, keduanya adalah teknologi paling canggih.
Pada masa itu, hidupku masih baik-baik saja, orang-orang yang kusayangi masih berada
di sampingku.
Sekarang,
kendatipun teknologi sudah maju, beberapa hal dalam hidupku tetap diam di
tempat, terpaku dan membisu. Benar aku bisa melihat sebentuk kehidupan melalui
cerita yang diunggah di media sosial, tetapi aku lebih butuh cerita yang
langsung mereka sampaikan padaku, berhadapan. Aku ingin merangkul mereka dan kami
akan saling mendengarkan, tidak berpura-pura baik-baik saja. Namun, hidupku
sudah direnggut.
“Heh,
Calissa, lo denger enggak, sih?” Bentakan Radit membawaku kembali ke hadapan
tangannya yang melambai-lambai.
“Enggak
usah teriak-teriak, jarak kursi lo ke kursi gue enggak sampai dua meter,”
protesku.
“Siapa
juga yang teriak, sih? Lo aja yang kalau ngomong tuh bisik-bisik,” gerutunya
kesal.
“Lah,
itu teriak,” sanggahku.
“Gue
kagak teriak, anjir!” balasnya dengan nada yang lebih tinggi.
Aku
mengalihkan pandangan darinya ke monitor. “Lo ngegas mulu, males gue. Kirimin
kontaknya.” Sepuluh detik kemudian, pesan Radit sudah kuterima.
“Lo
mau ngurusin buat mutasi, kan? Nah, itu orang yang gantiin Mbak Dian, lo
hubungin dia aja.” Radit segera memberi tahu.
Aku
menarik napas dengan berat.
“Kenapa
lagi?” Radit memutar kursinya menghadap kursiku. “Oh, gue tahu, lo males, kan,
berurusan sama orang baru? Mampus.” Dia tertawa sepuas-puasnya.
“Wakilin
gue, dong, Dit. Besok gue beliin lontong sayurnya dua porsi.” Aku memelas.
Dengan
sombongnya Radit menolak, “Enak aja. Sogokan lo enggak mempan. Ketimbang chat doang, apa susahnya?”
“Susah
banget, sumpah, kalau enggak butuh-butuh amat, gue, sih, ogah,” celotehku, yang
membuat Radit terpingkal-pingkal.
“Sehat-sehat
lo, ya, di kantor sana. Kalau enggak betah dan kangen gue, coba ajuin mutasi
biar balik lagi ke sini,” kelakarnya.
“Tak
segampang itu ...,” timpalku bernyanyi.
“Radit,
Calissa, udah selesai ngobrolnya? Bisa lanjut kerja?” Sontak aku dan Radit
memutar kursi menghadap monitor ketika mendengar suara manajer kami, yang kapan
pun rasanya terdengar seperti sebuah titah, tak pernah bisa dibantah.
***
Selamat siang, Mas Dhesta. Saya
Calissa dari divisi pemasaran, yang akan mutasi ke kantor cabang 22. Saya sudah
mengajukan pengurusan berkas melalui aplikasi dan diarahkan untuk menghubungi
Mas Dhesta. Prosedur selanjutnya bagaimana, ya?
Kubaca
berulang kali sebelum mengirimkan pesannya. Ah, bodoh amat, aku tidak pandai
berbasa-basi, lagi pula aku juga tidak akan pernah berhubungan lagi dengan
orang baru ini. Oh, betapa aku merindukan Mbak Dian. Akhirnya kukirim pesan
tersebut.
Berkasnya udah selesai, kamu bisa
ambil hard copy-nya di
meja 13.
Wow,
pesan itu kuterima hanya satu menit setelah bertanya. Memang di dunia yang
serbadigital ini, respons cepat adalah sesuatu yang amat dibutuhkan.
Otw,
Mas. Thanks.
Tentu
saja emoji sembah kukirimkan pula, emoji yang paling pertama muncul dari rekomendasi
papan ketik, saking seringnya digunakan. Emoji itu sebenarnya dua telapak
tangan yang bertemu, tetapi entah mengapa kerap kali digunakan pada
jawaban-jawaban semacam “Noted, Bu”. Kusebut itu emoji sembah saja sekalian karena hanya kugunakan pada atasan.
Balasan
emoji jempol kontan kuterima dari Mas Dhesta. Segera aku beranjak dan mencari
meja nomor 13 sambil meneliti foto profil akunnya. Setelah
berkeliling, akhirnya kutemukan jajaran meja nomor 11—15. Namun, saat kudekati
meja 13, ternyata tidak ada yang menempati. Aku celingukan.
“Siang,
Mbak, ada yang bisa dibantu?” tanya seorang lelaki di meja 14.
Kulihat
kembali layar ponsel, dari wajahnya, sih, ini bukan Mas Dhesta. Agak ragu aku
bertanya, “Meja Mas Dhesta yang mana, ya?”
“Oh,
Mbak Calissa, ya?”
Aku
mengangguk.
“Meja
Mas Dhesta bener yang ini, kok, Mbak, sebelah saya, tapi beliau baru aja
berangkat. Ini berkasnya udah dititip ke saya.” Dia menjelaskan sambil
mengambil map di meja dan menyerahkannya padaku.
Aku
menerimanya seraya mengucap, “Terima kasih, Mas ...?” Oh ya, aku belum tahu
namanya.
“Kemal,”
jawabnya tersenyum, menutup kalimatku yang menggantung. “Enggak usah pakai
‘Mas’, cukup Kemal.”
Aku
mengangguk sebelum berlalu. Taklupa kukatakan, “Oke, Cukup Kemal. Noted.”
Tawa
Kemal mengiringi langkahku yang menjauh.
***
Satu
minggu lagi dan aku tidak akan menghirup udara di kota besar ini. Ingin
kuucapkan selamat tinggal, tetapi entah bagaimana ada yang terasa janggal.
Harusnya tidak begini, harusnya—
Tunggu.
Aku baru menyadari ada pesan masuk ketika membuka aplikasi pesan.
Sorry lupa ngasih tau, berkasnya tadi aku titip
ke Kemal. Udah kamu ambil?
Mas
Dhesta rupanya. Tentu saja sudah, aku ingin mengomel, bisa-bisanya aku
dioper-oper seperti bola. Namun, demi menjaga tata krama, kubalas dengan
seramah mungkin.
Sudah, Mas, terima kasih banyak atas
responsnya yang cepat dan prosesnya yang singkat. Tadi saya sudah bertemu
dengan Kemal. Semua berkas sudah lengkap. Mohon maaf sudah merepotkan
hingga Mas Dhesta masih harus menghubungi saya di luar jam kerja seperti ini.
Tambah
emoji sembah sebanyak tiga buah. Oke, kirim. Hendak kusimpan kembali ponsel dan
mematikan jaringan internetnya ketika tiba-tiba ada notifikasi lagi.
Not
to mention. Kita gak jadi ketemu tadi,
mungkin lain waktu?
Malam-malam
begini mataku sudah lima watt, tetapi kenapa, ya, aku tidak ingin membiarkan
pesan itu sekadar lewat?
Minggu depan bukannya bakal ketemu,
ya? Farewell
party, divisi Mas, kan, pasti ada,
termasuk Kemal.
Omong-omong
soal Kemal, aku jadi teringat bagaimana dia menyebut Mas Dhesta dengan sebutan
“beliau”. Terhormat sekali rasanya. Kalau kupikir-pikir lagi, kenapa pula Radit
memberikan kontak Mas Dhesta, ya, bukan langsung Kemal saja?
Dahlah, kamu istirahat aja sana. I’ll
wait.
Kulihat
jam di ujung kiri atas ponsel. Oke, memang waktunya untuk beristirahat, tetapi
sungguh aku tidak mengerti apa maksudnya ini semua. Kepalaku yang belakangan
ini dipenuhi rangkaian program kerja dan persiapan mutasi tidak bisa lagi
menampung berlimpahnya informasi, apalagi memecahkan kode dan teka-teki masa
kini. Tidak bisakah kecerdasan artifisial membantuku mengurus hal yang satu
ini? Ya, yang satu ini saja. Aku sudah tidak bisa menanggung apa pun lagi.
Wait for what?
Adakalanya
aku menyesal bertanya, tetapi jawaban yang berkualitas hanya muncul apabila
pertanyaannya juga berkualitas. Informasi apa pun yang ingin kita dapatkan
tergantung dari cara kita bertanya. Bagaimana sebuah jawaban akan memuaskan
keingintahuan, tergantung pada jenis pertanyaan yang dilontarkan. Sialnya,
otakku yang makin lamban ini mungkin sudah salah mengajukan pertanyaan, hingga
jawaban yang kuterima malah membuatku tambah lelah.
Waiting for cosmic connection.
***
Enam
hari kemudian.
“Cal,
minta nomor lo, dong, biar kita bisa tetep kontekan,” ujar Radit setelah
mengambil donat cokelat yang hampir kuambil.
“Itu
jatah gue!” protesku setengah berteriak.
Semua
mata langsung tertuju ke arah kami, termasuk sepasang mata Kemal.
“Mbak
Calissa, di sebelah sini masih banyak donatnya, kamu bisa ambil ke sini,” katanya
cukup lantang.
Aku
mengacungkan jempol dan bergegas ke jajaran meja yang jatah makanannya masih
melimpah. Kudengar derap langkah di belakang yang mengikuti. “Lo ngapain ikut
juga, Radit?”
“Kayaknya
gue ketinggalan sesuatu,” bisiknya.
Kemal
menyambut kami dengan senyumnya yang lebar. “Pilih sendiri donatnya sebelum
diambil Mas Radit.”
Mata
Radit jelalatan memindai camilan yang berjajar di meja panjang. Dia segera
mengambil donat cokelat, lagi.
“Astaga,
Radit Wardana, lo mau—”
“Lo
mau yang ini, kan? Nih,” selanya seraya memberikan piring kertas berisi donat
cokelat.
Terdengar
suara Kemal yang tertawa renyah, membuatku dan Radit berpaling ke arahnya.
“Thanks, Kemal, emang temenku yang satu
ini agak-agak,” ucapku sembari memperagakan tanda kutip dengan sebelah tangan.
“Anytime. Kamu, kok, mutasi? Mendingan di
sini, padahal, jangan pergi,” timpalnya masih dengan memajang senyum yang tidak
luntur-luntur.
Radit
menginjak kakiku setelah mendengar pertanyaan Kemal. Aku meringis dan
meliriknya dengan tatapan bertanya: lo-ada-masalah-apa-sih?
Radit
memandangiku dan Kemal bergantian, kemudian memecah keheningan, “Mas Kemal udah
lama di kantor sini?”
“Baru
beberapa bulan, sih, Mas, sebelumnya di kantor cabang 20. Mas sendiri udah lama?”
Kemal sepertinya termakan pengalihan dari Radit.
“Oh,
gitu, ya, tapi kayak udah akrab bener, nih, sama Calissa. Sebelumnya pernah
kenal?” Radit kembali melemparkan pertanyaan yang membuatku memandanginya
dengan heran.
Kemal
menanggapinya dengan tertawa. “Saya justru enggak tahu apa-apa, Mas, tiba-tiba
dititipin berkas sama Mas Dhesta.”
“Mas
Dhesta hari ini enggak ada, ya?” tanya Radit dengan pandangan mengitari
sekeliling.
“Tadi
siang, sih, ada, tapi setelah jam maksi, beliau udah berangkat lagi,” jawab
Kemal, kali ini dia mencomot sepotong piza.
Beliau.
Berangkat. Kata-kata itu lagi, aku
merinding mendengarnya, tetapi kulihat Radit biasa-biasa saja. Dia malah lanjut
mengobrol dengan Kemal, seolah-olah aku tidak ada di bumi yang sama dengannya.
Setelah
menghabiskan satu donat cokelat, sepotong piza, dan satu wadah es krim, aku
memutuskan meninggalkan meja panjang itu.
“Nice to meet you, Calissa. Kapan-kapan
kita ngobrol lagi.”
Aku
seketika berhenti dan menoleh ke sumber suara. Kemal tersenyum jenaka,
sementara Radit di sampingnya menganga dengan tangan melayang memegang entah
makanan apa. Aku mengangguk dan Radit buru-buru memasukkan sisa makanan ke
mulutnya lalu berpamitan pada Kemal.
“Lo
kenapa enggak bilang kalau pernah ketemu Mas Kemal?” tanya Radit yang sudah
menjajari langkahku.
Aku
menoleh padanya dan balik bertanya, “Emangnya kenapa?”
“Ya
enggak apa-apa, sih,” katanya sembari menggaruk tengkuk. “Enggak seru aja kalau
lo belum ketemu Mas Dhesta. Gue kira lo janjiannya sama Mas Dhesta.”
“Emangnya
kenapa?” Kuulangi pertanyaan itu dengan tambahan, “Lo kayaknya udah kenal sama
dia, buktinya lo ngasih kontaknya dia, bukan Kemal.”
Radit
memandangiku dengan tatapan yang menunjukkan kengerian. “Dia, dia. Beliau. Lo
harusnya manggil ‘beliau’. Lo enggak tahu siapa beliau?”
“Ya
enggaklah, selain dikasih kontaknya sama lo. Enggak ngaruh juga gue ketemunya
sama siapa. Pokoknya waktu itu gue cuma janjian ambil berkas di meja di—sori,
beliau maksudnya. Enggak tahu deh itu janjiannya sama orangnya atau sama
mejanya, terserahlah, yang penting semua udah kelar. Selamat tinggal, Radit
Wardana.”
“Heh,
heh, tunggu dulu.” Radit mencegatku yang sudah mengambil barang-barang dan siap
pergi. “Lo masih belum ngasih nomor kontak lo.”
“Pake surat kaleng aja, nanti juga nyampe ke gue,” balasku asal-asalan.
Radit
mulai naik darah, “Gimana caranya bisa nyampe? Hari gini pake surat kaleng?
Buset, ribet bener. Agak lain emang ini anak.”
“Gue
juga enggak tahu, sih, gimana caranya, tapi kita, kan, pernah hidup di zaman
belum ada internet dan harus ke wartel dulu kalau mau telepon,” tandasku.
***
Enam
bulan kemudian.
Siapa
sangka takdir membawaku lagi ke sini? Baik, sekarang aku sudah menggunakan lagi
kata “takdir”. Hidup sudah menempaku begitu rupa hingga akhirnya satu-satunya
yang bisa aku percaya adalah takdir. Segala koneksi—hubungan antarmanusia,
antardunia, atau bahkan antar-alam semesta—telah menyelamatkan hidupku.
Setelah
terpisah dari dunia serbacepat, aku menikmati hidup di kota yang lebih lambat;
tidak lagi harus takut kata terlambat atau harus merespons secepat kilat. Aku
bahkan bisa dengan sengaja memperlambat semuanya. Pada saat itulah aku
menemukan hal-hal yang terlewat tatkala dunia bergerak cepat.
Aku
mengunjungi kota ini lagi, yang segalanya digital hingga selembar uang rasanya
tidak lagi bernilai; semua tinggal pindai. Hampir lupa rasanya bagaimana
kembali melewati hari di kota yang sibuknya nomor satu ini, yang membuatku
ingin mundur saja dan mengakhiri segala. Akan tetapi, kini, ketika kudapati
anak-anak bermain riang di tengah taman, di antara air yang muncul dari balik rerumputan,
betapa kusadari hidup masih layak diperjuangkan.
Mungkin
ada satu hal yang begitu berat kutinggalkan dan betapa usaha yang kulakukan
untuk melupakan kenangan sudah tak terhitung lagi, tetapi masih banyak hal
lain. Aku ingin mengabadikan momen ini; saat aku merasa ingin hidup lagi. Maka,
kukeluarkan ponsel dari tas dan mulai merekam pemandangan yang tersaji di
hadapan.
Kuarahkan
ponsel ke kiri, perlahan bergeser ke kanan, jangan sampai aku melewatkan tawa
anak-anak yang seperti tidak memiliki beban. Kubiarkan sepasang kaki mengetuk-ketuk
lantai mengikuti irama hati, membiarkan tanganku bergerak merekam dan—
Ponsel
kami bertemu. Kami seakan-akan becermin. Lelaki itu juga memegang ponselnya dan
berhenti tepat di depan ponselku. Kami seolah-olah saling merekam. Mataku
perlahan beralih dari layar ponsel memandang ke arahnya. Dia menurunkan ponsel
dan tertegun.
“Calissa?”
Ada nada takpercaya di balik suaranya.
Tunggu.
Dia tahu namaku? Di kota besar ini hanya segelintir orang yang tahu namaku dan
tidak ada satu orang pun yang tahu aku sedang berpelesir di sini. Lagi pula,
kota ini terlalu besar untuk bisa kebetulan bertemu dengan seseorang, apalagi—
“Kamu
Calissa, kan?”
—seseorang
yang tidak diketahui wujud aslinya, tidak pernah berte—
“Calissa
Rafinka.”
—mu.
Pernah!
Sekelebat
ingatan kontan memenuhi otakku. Aliran informasi membanjir sederas hujan sore
kemarin. Wajah di hadapanku sepertinya tidak asing, aku pernah melihatnya di
... di mana, ya? Rasanya sudah lama sekali. Aku menarik napas, memejamkan mata,
mengingat-ingat. Di mana? Di mana?
Demi
bulan-bulan yang telah berlalu, di lift! Aku pernah berpapasan dengannya di
lift kantor, pada hari karyawan baru masuk.
“Kamu
dipanggilnya apa, sih?”
“Calis,
Cal, Calissa, yang manggil Finka juga ada,” jawabku setelah tersadar dari lamunan.
“Kok, Mas tahu nama lengkap saya?”
Dia
malah tertawa dan aku diam-diam terpana. “Kita pernah ketemu, jadi ya aku
tahu.”
Jadi,
dia juga ingat kalau kami berpapasan waktu itu, tetapi aku bahkan tidak tahu
namanya, hanya ingat sekilas wajahnya. “Oh, pantesan, saya enggak pinter dalam
mengingat nama orang, jadi yah, begitulah, Mas ...?” Nadaku kembali
menggantung, tetapi sepertinya bukan aku tidak pandai dalam mengingat nama,
melainkan aku tidak pernah tahu namanya.
“Dhesta.”
Langsung
ke inti jantung, panah itu memelesat.
“Dhesta?”
Dia
terkekeh-kekeh. “Ya, kamu boleh banget panggil aku Dhesta tanpa embel-embel ‘Mas’,
sama kayak kamu manggil Kemal.”
“Bukan,
maksudnya, itu ...,” ralatku gelagapan. Jadi, tebakanku benar? Karyawan baru itu
laki-laki dan lebih tua dibandingkan dengan aku dan Radit? Yang benar saja!
Harusnya aku menerima tantangan taruhan atau tebak-tebakan dari Radit waktu itu
dengan jaminan sebulan penuh ditraktir donat cokelat. Pantas aku tidak tahu
namanya, hari itu, dia karyawan baru, belum mendapat kartu pengenal, sementara
dia bisa membaca namaku melalui kartu yang menggantung di leherku.
“Itu
apa?” sahutnya masih memandangiku. “You’re
really hard to find, ya.”
Aku
perlu mencerna ini terlebih dahulu, tetapi sudah sejauh dan sepanjang tahun
ini, tidak mungkin semuanya kebetulan, kan? Aku tidak akan pernah lupa, jauh di
lubuk hati, aku mengatakannya dengan lantang agar suatu hari bisa bertemu
dengannya. Sekarang ini benar-benar terjadi.
Aku
tersenyum menanggapi, “Thanks for finding
me, again.”
“Again?” Alisnya bertaut.
Kukibaskan
sebelah tangan. “Dahlah. Hidup ini lucu, ya,” ujarku.
“Karena
ada kamu,” balasnya.
Kubuang
napas dengan malas. “You’re really busy.
Bisa bales chat dalam satu menit,
tapi perlu satu tahun buat ketemu?”
“I told you. So, thanks for never giving up
on me, not choosing one of them.”
“Them?”
“Kemal
atau yang lain, kayaknya kamu laku.”
“Kalau
gitu, kenapa enggak nyari yang lain aja di Tinder? Kan, gampang, hari gini
gitu, lo, swipe right juga beres.
Jatuh cinta zaman sekarang bisa digital.”
“Aku
jatuh cintanya sama orang yang pake surat kaleng, mau nyari di Tinder sampai
kiamat pun enggak akan ketemu,” sindirnya. “Kamu masih available, kan?”
Mulut
Radit mesti dijahit. Awas kalau suatu hari nanti aku bertemu dengannya lagi,
aku akan mengomelinya habis-habisan, sekaligus, mungkin berterima kasih. Kalau
bukan karena dia yang memberi kontak Mas Dhesta, alih-alih kontak Kemal ....
Kalau bukan karena dia yang ke toilet terlebih dahulu dan memintaku menunggu di
lobi waktu itu .... Bukankah semuanya terhubung? Tidak ada yang namanya kebetulan di seantero kosmos ini.
I’m single, but never available.
Biasanya aku menjawab seperti itu pada siapa pun yang bertanya, tetapi kali ini
mulutku iseng mengatakan, “Only available
for someone who dare to ask right in front of me.”
Tawanya
merdu sekali, aku mau mendengarnya berkali-kali. “You’re good at teasing, aren’t you?”
“I learn from the best,” sambutku. “So, cosmic connection is real?”
Dia
mengangguk. Matanya mengunci mataku. “Indeed.
That’s why we’re here. How do we start? Sekotak donat cokelat?”
Kali
ini aku yang tertawa.
“Kamu
enggak usah ketawa gitu.”
Seketika
tawaku lenyap. “Salahnya di mana?”
“Salahnya
adalah kalau kamu ketawa, hati aku kebawa.”
Aku
langsung melengos meninggalkannya. Kudengar langkah yang mengejar, tawanya yang
samar-samar. Aku tersadar, masih banyak hal di luar nalar, begitu banyak yang
belum tertangkap radar.
Secanggih
apa pun zaman, melupakan seseorang tidak pernah bisa digital, tetap saja harus
manual. Setelah aku berusaha melupakannya dengan susah payah, setelah aku ingin
menyerah, setelah aku merasa kalah, setelah selama ini semua yang kulakukan
maupun kuucapkan dalam hidup selalu salah, akhirnya ada satu yang terasa benar.
Langkahku
terhenti, membuat lelaki di sampingku ikut berhenti. Aku memandangnya, yang
balik memandangku.
“There are so many things,” ungkapku.
Dia
tahu kalimat itu belum selesai. “And then?”
“You are the right one.”
“Yes, I’m your the one,” sambutnya
senang.
“No,” sanggahku. Raut wajahnya kontan
berubah. Buru-buru aku mengacungkan tangan untuk mengatakan, “Jangan marah
dulu, mak—”
“You’re complicated.” Dia berkomentar. “Aku
bisa aja—”
“But you like it, don’t you?” Aku
langsung memotong. “Bisa aja pergi, tapi pada akhirnya kita ketemu sekarang, di
sini. So, for me, you’re the right one.”
“Calissa.”
Mulai,
nih. Nada bicaranya tegas, mematikan. “Apa lagi?”
“I’m glad that you exist.”
“Masa?”
Aku memperhatikan dirinya dengan saksama.
Tentu
saja dia segera mengeluh, “Kamu ini enggak bisa diajak ngomong serius, ya.”
“Bisa, kok, bisa banget diajak serius, minggu depan juga bisa.”
Mendengar itu, senyum di wajahnya mengembang sempurna dan hatiku dipenuhi bunga.
No comments:
Post a Comment