Friday, 17 November 2023

Cosmic Connection

Besok Senin. Besok. Senin. Namun, bukankah setengahnya dari Minggu sudah menjadi bagian dari Senin? Rutinitas Senin: berangkat lebih pagi dibandingkan hari-hari lain karena fisik harus siap tempur di stasiun bersama banyak tubuh yang menggempur, rapat mingguan pukul 09.00 WIB, tiba-tiba sudah tengah hari, waktunya makan siang, kerja lagi, memandangi layar komputer seolah-olah hidup hanya bergantung pada benda pipih itu.

Hari-hari berikutnya hanya berbeda pada rapat mingguan. Sisanya tetap sama: berangkat, sampai di kantor, menjelang petang terdengar suara-suara kelelahan yang siap-siap pulang, jam kerja pun berakhir, berdesakan lagi di kereta. Tubuh ini digerakkan oleh dinamika kehidupan. Duduk bersebelahan dengan rekan kerja, tetapi berbicara tetap melalui aplikasi pesan.

https://www.pixiv.net/en/artworks/95641073

Minggu yang kumiliki tinggal setengah karena besok Senin. Besok aku harus berjuang lagi demi bertahan hidup, padahal sebenarnya aku sudah tidak ingin hidup.

***

Kasak-kusuk terdengar ketika aku kembali dari membeli makan siang. Katanya akan ada karyawan baru hari ini.

“Cal, taruhan, yuk.” Radit menghalangi jalanku menuju meja.

Aku hanya memutar mata dan berkata, “Minggir. Lo ngalangin jalan.”

“Enggak. Sebelum lo iyain, gue enggak mau minggir,” tandasnya bersikeras.

Mataku memandangnya dengan kesal. “Jangan mancing, gue lagi lapar. Lagian, gue enggak pinter taruhan.”

Radit masih berdiri dan tidak memberikan celah sedikit pun agar aku bisa berjalan. “Ya udah, ganti. Kita tebak-tebakan. Lo pinter kalau tebak-tebakan.”

“Konteks?”

“Karyawan baru, cewek atau cowok? Lebih tua atau lebih muda dari kita?” Radit menaikturunkan alisnya yang seperti ulat bulu.

“Apa pentingnya? Beberapa jam lagi juga kita bakal tahu,” sahutku masih belum setuju.

Radit membuang napas dengan wajah lelah. “Lo kalau lagi lapar emang lemotnya kumat. Kita, kan, ada meeting di Gedung 48 jam tiga nanti. Jadi, ya enggak bisa lihat karyawan baru itu.”

“Iya, lagi. Thanks udah ngingetin, tapi tebak-tebakannya tetep enggak penting, enggak ada ngaruhnya ke kehidupan gue. Kan, itu karyawan baru di divisi lain,” timpalku masih tidak tertarik. “Minggir.”

Radit akhirnya menyingkir dan memberi jalan. Enak sekali rasanya bisa duduk bersandar sembari menikmati makan siang kali ini. Satu jam istirahat dari delapan jam bekerja; tidak boleh disia-siakan dengan hal-hal tidak penting untuk kehidupan, apalagi tebak-tebakan, yang sebenarnya, kalau boleh jujur, aku sudah menebak ketika Radit bertanya.

***

“Buruan, lama amat kayak siput,” tegurku melihat Radit yang masih bersantai di meja kerja.

Radit berdiri dari kursinya, membuatku bernapas lega karena perjalanan akan memakan waktu cukup lama. Namun, alangkah ingin kutendang dia saat berkata, “Lo duluan aja ke bawah, tunggu di lobi, gue ke toilet dulu.”

Setelah memindai kartu dan menunggu beberapa saat, akhirnya pintu lift terbuka. Menuruni 40 lantai sendirian dalam balok berdinding baja, kadang aku berpikir, apakah sebenarnya hidup sebatas rutinitas?

Ting!

Suara itu menyadarkanku bahwa lift sudah di lantai tujuan. Ketika pintu di hadapanku terbuka, seseorang sedang berdiri. Mata kami bersirobok sesaat lalu aku melangkah keluar bersamaan dengan dia yang masuk ke lift.

***

Enam bulan kemudian.

“Dit, kok, Mbak Dian udah enggak aktif, ya, kontaknya?” tanyaku setelah berulang kali mengecek, apakah mata ini tidak salah melihat.

“Lah, emang lo enggak tahu?”

“Enggak tahu apa?” Dahiku berkerut bingung.

“Ini anak satu emang kalau kerja kayak pake kacamata kuda, ya,” balasnya sembari menggeleng-gelengkan kepala. “Mbak Dian udah enggak di sini.”

Mulutku menganga. Oh, tidak. Mbak Dian baik hati yang selama ini selalu membantuku ternyata sudah tidak di sini? Saking banyaknya pekerjaan akhir-akhir ini, aku sampai tidak sempat menanyakan kabarnya (mengunjungi mejanya bukan lagi hal yang lumrah karena selama ini semua komunikasi melalui aplikasi pesan).

“Terus gue harus hubungin siapa? Lo ada kenalan di divisi sana enggak?”

“Lo kenapa mutasi, sih?”

“Takdir,” jawabku asal-asalan, padahal aku sudah tidak percaya dengan yang namanya takdir. Pada zaman digital seperti ini, hari-hari manusia ditentukan oleh algoritma. Lebih percaya pada kerasnya usaha dan keajaiban media sosial dibandingkan dengan takdir atau kuasa yang lebih dari itu, begitulah kehidupan yang ingin kutinggalkan.

Sudah kubilang, aku tidak lagi ingin hidup; kehidupan sekarang melenyapkan segala yang bagiku pernah indah dan menyenangkan. Aku lebih suka kehidupan masa kecil ketika belum mengenal internet. Surat-menyurat dan bertukar pesan melalui telepon genggam layar hitam putih, keduanya adalah teknologi paling canggih. Pada masa itu, hidupku masih baik-baik saja, orang-orang yang kusayangi masih berada di sampingku.

Sekarang, kendatipun teknologi sudah maju, beberapa hal dalam hidupku tetap diam di tempat, terpaku dan membisu. Benar aku bisa melihat sebentuk kehidupan melalui cerita yang diunggah di media sosial, tetapi aku lebih butuh cerita yang langsung mereka sampaikan padaku, berhadapan. Aku ingin merangkul mereka dan kami akan saling mendengarkan, tidak berpura-pura baik-baik saja. Namun, hidupku sudah direnggut.

“Heh, Calissa, lo denger enggak, sih?” Bentakan Radit membawaku kembali ke hadapan tangannya yang melambai-lambai.

“Enggak usah teriak-teriak, jarak kursi lo ke kursi gue enggak sampai dua meter,” protesku.

“Siapa juga yang teriak, sih? Lo aja yang kalau ngomong tuh bisik-bisik,” gerutunya kesal.

“Lah, itu teriak,” sanggahku.

“Gue kagak teriak, anjir!” balasnya dengan nada yang lebih tinggi.

Aku mengalihkan pandangan darinya ke monitor. “Lo ngegas mulu, males gue. Kirimin kontaknya.” Sepuluh detik kemudian, pesan Radit sudah kuterima.

“Lo mau ngurusin buat mutasi, kan? Nah, itu orang yang gantiin Mbak Dian, lo hubungin dia aja.” Radit segera memberi tahu.

Aku menarik napas dengan berat.

“Kenapa lagi?” Radit memutar kursinya menghadap kursiku. “Oh, gue tahu, lo males, kan, berurusan sama orang baru? Mampus.” Dia tertawa sepuas-puasnya.

“Wakilin gue, dong, Dit. Besok gue beliin lontong sayurnya dua porsi.” Aku memelas.

Dengan sombongnya Radit menolak, “Enak aja. Sogokan lo enggak mempan. Ketimbang chat doang, apa susahnya?”

“Susah banget, sumpah, kalau enggak butuh-butuh amat, gue, sih, ogah,” celotehku, yang membuat Radit terpingkal-pingkal.

“Sehat-sehat lo, ya, di kantor sana. Kalau enggak betah dan kangen gue, coba ajuin mutasi biar balik lagi ke sini,” kelakarnya.

“Tak segampang itu ...,” timpalku bernyanyi.

“Radit, Calissa, udah selesai ngobrolnya? Bisa lanjut kerja?” Sontak aku dan Radit memutar kursi menghadap monitor ketika mendengar suara manajer kami, yang kapan pun rasanya terdengar seperti sebuah titah, tak pernah bisa dibantah.

***

Selamat siang, Mas Dhesta. Saya Calissa dari divisi pemasaran, yang akan mutasi ke kantor cabang 22. Saya sudah mengajukan pengurusan berkas melalui aplikasi dan diarahkan untuk menghubungi Mas Dhesta. Prosedur selanjutnya bagaimana, ya?

Kubaca berulang kali sebelum mengirimkan pesannya. Ah, bodoh amat, aku tidak pandai berbasa-basi, lagi pula aku juga tidak akan pernah berhubungan lagi dengan orang baru ini. Oh, betapa aku merindukan Mbak Dian. Akhirnya kukirim pesan tersebut.

Berkasnya udah selesai, kamu bisa ambil hard copy-nya di meja 13.

Wow, pesan itu kuterima hanya satu menit setelah bertanya. Memang di dunia yang serbadigital ini, respons cepat adalah sesuatu yang amat dibutuhkan.

Otw, Mas. Thanks.

Tentu saja emoji sembah kukirimkan pula, emoji yang paling pertama muncul dari rekomendasi papan ketik, saking seringnya digunakan. Emoji itu sebenarnya dua telapak tangan yang bertemu, tetapi entah mengapa kerap kali digunakan pada jawaban-jawaban semacam “Noted, Bu”. Kusebut itu emoji sembah saja sekalian karena hanya kugunakan pada atasan.

Balasan emoji jempol kontan kuterima dari Mas Dhesta. Segera aku beranjak dan mencari meja nomor 13 sambil meneliti foto profil akunnya. Setelah berkeliling, akhirnya kutemukan jajaran meja nomor 11—15. Namun, saat kudekati meja 13, ternyata tidak ada yang menempati. Aku celingukan.

“Siang, Mbak, ada yang bisa dibantu?” tanya seorang lelaki di meja 14.

Kulihat kembali layar ponsel, dari wajahnya, sih, ini bukan Mas Dhesta. Agak ragu aku bertanya, “Meja Mas Dhesta yang mana, ya?”

“Oh, Mbak Calissa, ya?”

Aku mengangguk.

“Meja Mas Dhesta bener yang ini, kok, Mbak, sebelah saya, tapi beliau baru aja berangkat. Ini berkasnya udah dititip ke saya.” Dia menjelaskan sambil mengambil map di meja dan menyerahkannya padaku.

Aku menerimanya seraya mengucap, “Terima kasih, Mas ...?” Oh ya, aku belum tahu namanya.

“Kemal,” jawabnya tersenyum, menutup kalimatku yang menggantung. “Enggak usah pakai ‘Mas’, cukup Kemal.”

Aku mengangguk sebelum berlalu. Taklupa kukatakan, “Oke, Cukup Kemal. Noted.”

Tawa Kemal mengiringi langkahku yang menjauh.

***

Satu minggu lagi dan aku tidak akan menghirup udara di kota besar ini. Ingin kuucapkan selamat tinggal, tetapi entah bagaimana ada yang terasa janggal. Harusnya tidak begini, harusnya—

Tunggu. Aku baru menyadari ada pesan masuk ketika membuka aplikasi pesan.

Sorry lupa ngasih tau, berkasnya tadi aku titip ke Kemal. Udah kamu ambil?

Mas Dhesta rupanya. Tentu saja sudah, aku ingin mengomel, bisa-bisanya aku dioper-oper seperti bola. Namun, demi menjaga tata krama, kubalas dengan seramah mungkin.

Sudah, Mas, terima kasih banyak atas responsnya yang cepat dan prosesnya yang singkat. Tadi saya sudah bertemu dengan Kemal. Semua berkas sudah lengkap. Mohon maaf sudah merepotkan hingga Mas Dhesta masih harus menghubungi saya di luar jam kerja seperti ini.

Tambah emoji sembah sebanyak tiga buah. Oke, kirim. Hendak kusimpan kembali ponsel dan mematikan jaringan internetnya ketika tiba-tiba ada notifikasi lagi.

Not to mention. Kita gak jadi ketemu tadi, mungkin lain waktu?

Malam-malam begini mataku sudah lima watt, tetapi kenapa, ya, aku tidak ingin membiarkan pesan itu sekadar lewat?

Minggu depan bukannya bakal ketemu, ya? Farewell party, divisi Mas, kan, pasti ada, termasuk Kemal.

Omong-omong soal Kemal, aku jadi teringat bagaimana dia menyebut Mas Dhesta dengan sebutan “beliau”. Terhormat sekali rasanya. Kalau kupikir-pikir lagi, kenapa pula Radit memberikan kontak Mas Dhesta, ya, bukan langsung Kemal saja?

Dahlah, kamu istirahat aja sana. I’ll wait.

Kulihat jam di ujung kiri atas ponsel. Oke, memang waktunya untuk beristirahat, tetapi sungguh aku tidak mengerti apa maksudnya ini semua. Kepalaku yang belakangan ini dipenuhi rangkaian program kerja dan persiapan mutasi tidak bisa lagi menampung berlimpahnya informasi, apalagi memecahkan kode dan teka-teki masa kini. Tidak bisakah kecerdasan artifisial membantuku mengurus hal yang satu ini? Ya, yang satu ini saja. Aku sudah tidak bisa menanggung apa pun lagi.

Wait for what?

Adakalanya aku menyesal bertanya, tetapi jawaban yang berkualitas hanya muncul apabila pertanyaannya juga berkualitas. Informasi apa pun yang ingin kita dapatkan tergantung dari cara kita bertanya. Bagaimana sebuah jawaban akan memuaskan keingintahuan, tergantung pada jenis pertanyaan yang dilontarkan. Sialnya, otakku yang makin lamban ini mungkin sudah salah mengajukan pertanyaan, hingga jawaban yang kuterima malah membuatku tambah lelah.

Waiting for cosmic connection.

***

Enam hari kemudian.

“Cal, minta nomor lo, dong, biar kita bisa tetep kontekan,” ujar Radit setelah mengambil donat cokelat yang hampir kuambil.

“Itu jatah gue!” protesku setengah berteriak.

Semua mata langsung tertuju ke arah kami, termasuk sepasang mata Kemal.

“Mbak Calissa, di sebelah sini masih banyak donatnya, kamu bisa ambil ke sini,” katanya cukup lantang.

Aku mengacungkan jempol dan bergegas ke jajaran meja yang jatah makanannya masih melimpah. Kudengar derap langkah di belakang yang mengikuti. “Lo ngapain ikut juga, Radit?”

“Kayaknya gue ketinggalan sesuatu,” bisiknya.

Kemal menyambut kami dengan senyumnya yang lebar. “Pilih sendiri donatnya sebelum diambil Mas Radit.”

https://www.pixiv.net/en/artworks/57637525

Mata Radit jelalatan memindai camilan yang berjajar di meja panjang. Dia segera mengambil donat cokelat, lagi.

“Astaga, Radit Wardana, lo mau—”

“Lo mau yang ini, kan? Nih,” selanya seraya memberikan piring kertas berisi donat cokelat.

Terdengar suara Kemal yang tertawa renyah, membuatku dan Radit berpaling ke arahnya.

Thanks, Kemal, emang temenku yang satu ini agak-agak,” ucapku sembari memperagakan tanda kutip dengan sebelah tangan.

Anytime. Kamu, kok, mutasi? Mendingan di sini, padahal, jangan pergi,” timpalnya masih dengan memajang senyum yang tidak luntur-luntur.

Radit menginjak kakiku setelah mendengar pertanyaan Kemal. Aku meringis dan meliriknya dengan tatapan bertanya: lo-ada-masalah-apa-sih?

Radit memandangiku dan Kemal bergantian, kemudian memecah keheningan, “Mas Kemal udah lama di kantor sini?”

“Baru beberapa bulan, sih, Mas, sebelumnya di kantor cabang 20. Mas sendiri udah lama?” Kemal sepertinya termakan pengalihan dari Radit.

“Oh, gitu, ya, tapi kayak udah akrab bener, nih, sama Calissa. Sebelumnya pernah kenal?” Radit kembali melemparkan pertanyaan yang membuatku memandanginya dengan heran.

Kemal menanggapinya dengan tertawa. “Saya justru enggak tahu apa-apa, Mas, tiba-tiba dititipin berkas sama Mas Dhesta.”

“Mas Dhesta hari ini enggak ada, ya?” tanya Radit dengan pandangan mengitari sekeliling.

“Tadi siang, sih, ada, tapi setelah jam maksi, beliau udah berangkat lagi,” jawab Kemal, kali ini dia mencomot sepotong piza.

Beliau. Berangkat. Kata-kata itu lagi, aku merinding mendengarnya, tetapi kulihat Radit biasa-biasa saja. Dia malah lanjut mengobrol dengan Kemal, seolah-olah aku tidak ada di bumi yang sama dengannya.

Setelah menghabiskan satu donat cokelat, sepotong piza, dan satu wadah es krim, aku memutuskan meninggalkan meja panjang itu.

Nice to meet you, Calissa. Kapan-kapan kita ngobrol lagi.”

Aku seketika berhenti dan menoleh ke sumber suara. Kemal tersenyum jenaka, sementara Radit di sampingnya menganga dengan tangan melayang memegang entah makanan apa. Aku mengangguk dan Radit buru-buru memasukkan sisa makanan ke mulutnya lalu berpamitan pada Kemal.

“Lo kenapa enggak bilang kalau pernah ketemu Mas Kemal?” tanya Radit yang sudah menjajari langkahku.

Aku menoleh padanya dan balik bertanya, “Emangnya kenapa?”

“Ya enggak apa-apa, sih,” katanya sembari menggaruk tengkuk. “Enggak seru aja kalau lo belum ketemu Mas Dhesta. Gue kira lo janjiannya sama Mas Dhesta.”

“Emangnya kenapa?” Kuulangi pertanyaan itu dengan tambahan, “Lo kayaknya udah kenal sama dia, buktinya lo ngasih kontaknya dia, bukan Kemal.”

Radit memandangiku dengan tatapan yang menunjukkan kengerian. “Dia, dia. Beliau. Lo harusnya manggil ‘beliau’. Lo enggak tahu siapa beliau?”

“Ya enggaklah, selain dikasih kontaknya sama lo. Enggak ngaruh juga gue ketemunya sama siapa. Pokoknya waktu itu gue cuma janjian ambil berkas di meja di—sori, beliau maksudnya. Enggak tahu deh itu janjiannya sama orangnya atau sama mejanya, terserahlah, yang penting semua udah kelar. Selamat tinggal, Radit Wardana.”

“Heh, heh, tunggu dulu.” Radit mencegatku yang sudah mengambil barang-barang dan siap pergi. “Lo masih belum ngasih nomor kontak lo.”

“Pake surat kaleng aja, nanti juga nyampe ke gue,” balasku asal-asalan.

Radit mulai naik darah, “Gimana caranya bisa nyampe? Hari gini pake surat kaleng? Buset, ribet bener. Agak lain emang ini anak.”

“Gue juga enggak tahu, sih, gimana caranya, tapi kita, kan, pernah hidup di zaman belum ada internet dan harus ke wartel dulu kalau mau telepon,” tandasku.

***

Enam bulan kemudian.

Siapa sangka takdir membawaku lagi ke sini? Baik, sekarang aku sudah menggunakan lagi kata “takdir”. Hidup sudah menempaku begitu rupa hingga akhirnya satu-satunya yang bisa aku percaya adalah takdir. Segala koneksi—hubungan antarmanusia, antardunia, atau bahkan antar-alam semesta—telah menyelamatkan hidupku.

Setelah terpisah dari dunia serbacepat, aku menikmati hidup di kota yang lebih lambat; tidak lagi harus takut kata terlambat atau harus merespons secepat kilat. Aku bahkan bisa dengan sengaja memperlambat semuanya. Pada saat itulah aku menemukan hal-hal yang terlewat tatkala dunia bergerak cepat.

https://www.pixiv.net/en/artworks/111260511

Aku mengunjungi kota ini lagi, yang segalanya digital hingga selembar uang rasanya tidak lagi bernilai; semua tinggal pindai. Hampir lupa rasanya bagaimana kembali melewati hari di kota yang sibuknya nomor satu ini, yang membuatku ingin mundur saja dan mengakhiri segala. Akan tetapi, kini, ketika kudapati anak-anak bermain riang di tengah taman, di antara air yang muncul dari balik rerumputan, betapa kusadari hidup masih layak diperjuangkan.

Mungkin ada satu hal yang begitu berat kutinggalkan dan betapa usaha yang kulakukan untuk melupakan kenangan sudah tak terhitung lagi, tetapi masih banyak hal lain. Aku ingin mengabadikan momen ini; saat aku merasa ingin hidup lagi. Maka, kukeluarkan ponsel dari tas dan mulai merekam pemandangan yang tersaji di hadapan.

Kuarahkan ponsel ke kiri, perlahan bergeser ke kanan, jangan sampai aku melewatkan tawa anak-anak yang seperti tidak memiliki beban. Kubiarkan sepasang kaki mengetuk-ketuk lantai mengikuti irama hati, membiarkan tanganku bergerak merekam dan—

Ponsel kami bertemu. Kami seakan-akan becermin. Lelaki itu juga memegang ponselnya dan berhenti tepat di depan ponselku. Kami seolah-olah saling merekam. Mataku perlahan beralih dari layar ponsel memandang ke arahnya. Dia menurunkan ponsel dan tertegun.

“Calissa?” Ada nada takpercaya di balik suaranya.

Tunggu. Dia tahu namaku? Di kota besar ini hanya segelintir orang yang tahu namaku dan tidak ada satu orang pun yang tahu aku sedang berpelesir di sini. Lagi pula, kota ini terlalu besar untuk bisa kebetulan bertemu dengan seseorang, apalagi—

“Kamu Calissa, kan?”

—seseorang yang tidak diketahui wujud aslinya, tidak pernah berte—

“Calissa Rafinka.”

—mu. Pernah!

Sekelebat ingatan kontan memenuhi otakku. Aliran informasi membanjir sederas hujan sore kemarin. Wajah di hadapanku sepertinya tidak asing, aku pernah melihatnya di ... di mana, ya? Rasanya sudah lama sekali. Aku menarik napas, memejamkan mata, mengingat-ingat. Di mana? Di mana?

Demi bulan-bulan yang telah berlalu, di lift! Aku pernah berpapasan dengannya di lift kantor, pada hari karyawan baru masuk.

“Kamu dipanggilnya apa, sih?”

“Calis, Cal, Calissa, yang manggil Finka juga ada,” jawabku setelah tersadar dari lamunan. “Kok, Mas tahu nama lengkap saya?”

Dia malah tertawa dan aku diam-diam terpana. “Kita pernah ketemu, jadi ya aku tahu.”

Jadi, dia juga ingat kalau kami berpapasan waktu itu, tetapi aku bahkan tidak tahu namanya, hanya ingat sekilas wajahnya. “Oh, pantesan, saya enggak pinter dalam mengingat nama orang, jadi yah, begitulah, Mas ...?” Nadaku kembali menggantung, tetapi sepertinya bukan aku tidak pandai dalam mengingat nama, melainkan aku tidak pernah tahu namanya.

“Dhesta.”

Langsung ke inti jantung, panah itu memelesat.

“Dhesta?”

Dia terkekeh-kekeh. “Ya, kamu boleh banget panggil aku Dhesta tanpa embel-embel ‘Mas’, sama kayak kamu manggil Kemal.”

“Bukan, maksudnya, itu ...,” ralatku gelagapan. Jadi, tebakanku benar? Karyawan baru itu laki-laki dan lebih tua dibandingkan dengan aku dan Radit? Yang benar saja! Harusnya aku menerima tantangan taruhan atau tebak-tebakan dari Radit waktu itu dengan jaminan sebulan penuh ditraktir donat cokelat. Pantas aku tidak tahu namanya, hari itu, dia karyawan baru, belum mendapat kartu pengenal, sementara dia bisa membaca namaku melalui kartu yang menggantung di leherku.

“Itu apa?” sahutnya masih memandangiku. “You’re really hard to find, ya.” 

Aku perlu mencerna ini terlebih dahulu, tetapi sudah sejauh dan sepanjang tahun ini, tidak mungkin semuanya kebetulan, kan? Aku tidak akan pernah lupa, jauh di lubuk hati, aku mengatakannya dengan lantang agar suatu hari bisa bertemu dengannya. Sekarang ini benar-benar terjadi.

Aku tersenyum menanggapi, “Thanks for finding me, again.”

Again?” Alisnya bertaut.

Kukibaskan sebelah tangan. “Dahlah. Hidup ini lucu, ya,” ujarku.

“Karena ada kamu,” balasnya.

Kubuang napas dengan malas. “You’re really busy. Bisa bales chat dalam satu menit, tapi perlu satu tahun buat ketemu?”

I told you. So, thanks for never giving up on me, not choosing one of them.

Them?

“Kemal atau yang lain, kayaknya kamu laku.”

“Kalau gitu, kenapa enggak nyari yang lain aja di Tinder? Kan, gampang, hari gini gitu, lo, swipe right juga beres. Jatuh cinta zaman sekarang bisa digital.”

“Aku jatuh cintanya sama orang yang pake surat kaleng, mau nyari di Tinder sampai kiamat pun enggak akan ketemu,” sindirnya. “Kamu masih available, kan?”

Mulut Radit mesti dijahit. Awas kalau suatu hari nanti aku bertemu dengannya lagi, aku akan mengomelinya habis-habisan, sekaligus, mungkin berterima kasih. Kalau bukan karena dia yang memberi kontak Mas Dhesta, alih-alih kontak Kemal .... Kalau bukan karena dia yang ke toilet terlebih dahulu dan memintaku menunggu di lobi waktu itu .... Bukankah semuanya terhubung? Tidak ada yang namanya kebetulan di seantero kosmos ini.

I’m single, but never available. Biasanya aku menjawab seperti itu pada siapa pun yang bertanya, tetapi kali ini mulutku iseng mengatakan, “Only available for someone who dare to ask right in front of me.

Tawanya merdu sekali, aku mau mendengarnya berkali-kali. “You’re good at teasing, aren’t you?

I learn from the best,” sambutku. “So, cosmic connection is real?

Dia mengangguk. Matanya mengunci mataku. “Indeed. That’s why we’re here. How do we start? Sekotak donat cokelat?”

Kali ini aku yang tertawa.

“Kamu enggak usah ketawa gitu.”

Seketika tawaku lenyap. “Salahnya di mana?”

“Salahnya adalah kalau kamu ketawa, hati aku kebawa.”

Aku langsung melengos meninggalkannya. Kudengar langkah yang mengejar, tawanya yang samar-samar. Aku tersadar, masih banyak hal di luar nalar, begitu banyak yang belum tertangkap radar.

Secanggih apa pun zaman, melupakan seseorang tidak pernah bisa digital, tetap saja harus manual. Setelah aku berusaha melupakannya dengan susah payah, setelah aku ingin menyerah, setelah aku merasa kalah, setelah selama ini semua yang kulakukan maupun kuucapkan dalam hidup selalu salah, akhirnya ada satu yang terasa benar.

Langkahku terhenti, membuat lelaki di sampingku ikut berhenti. Aku memandangnya, yang balik memandangku.

There are so many things,” ungkapku.

Dia tahu kalimat itu belum selesai. “And then?”

You are the right one.

Yes, I’m your the one,” sambutnya senang.

No,” sanggahku. Raut wajahnya kontan berubah. Buru-buru aku mengacungkan tangan untuk mengatakan, “Jangan marah dulu, mak—”

You’re complicated.” Dia berkomentar. “Aku bisa aja—”

But you like it, don’t you?” Aku langsung memotong. “Bisa aja pergi, tapi pada akhirnya kita ketemu sekarang, di sini. So, for me, you’re the right one.

“Calissa.”

Mulai, nih. Nada bicaranya tegas, mematikan. “Apa lagi?”

I’m glad that you exist.

“Masa?” Aku memperhatikan dirinya dengan saksama.

Tentu saja dia segera mengeluh, “Kamu ini enggak bisa diajak ngomong serius, ya.”

“Bisa, kok, bisa banget diajak serius, minggu depan juga bisa.”

Mendengar itu, senyum di wajahnya mengembang sempurna dan hatiku dipenuhi bunga.

No comments:

Post a Comment

THEME BY RUMAH ES