Saturday, 2 November 2024

Rindu yang Berjatuhan

        Namanya Ame, seorang gadis yang tak pernah melebarkan payung ketika hujan mengguyur. Seperti kali ini, dia berjalan di tengah hujan sore hari. Baginya, hujan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, apalagi ditakuti.

https://www.pixiv.net/en/artworks/100130693

Tak banyak yang tahu bahwa hujan dapat menyampaikan suara hati. Tentu saja, di antara rintik hujan yang berjatuhan, ada suara hati Ame yang begitu membingungkan, tentang sebuah rindu yang tak bisa dijelaskan.

“Ame!”

Suara panggilan itu menghentikan langkah Ame. Gadis itu menoleh ke sumber suara. Rupanya Michelia.

“Mentang-mentang besok hari Sabtu, jadi enggak peduli kalau seragamnya basah.” Michelia berkomentar setelah menyejajarkan langkah dengan Ame.

Ame tersenyum kecil menyadari rintik hujan tak lagi berjatuhan di atas kepalanya. Selalu saja Michelia takpeduli jika dia sangat suka berhujan-hujanan daripada harus berlindung di bawah payung yang dilebarkan.

“Pokoknya kalau aku ketemu kamu pas lagi hujan, kamu enggak boleh ngelarang aku buat mayungin kamu. Titik.” Michelia kembali berceracau, mendeklarasikan kepeduliannya pada Ame.

Ame diam saja mendengarkan, tidak menanggapi dengan kata barang sepatah. Dia hanya terus melangkah ditemani Michelia yang juga melangkah di sisinya.

“Ame ...,” panggil Michelia pelan, berharap Ame tak hanya diam tanpa ada satu pun kalimat yang dilontarkan. “Aku harap kamu segera bertemu dengannya.”

Kontan Ame menoleh pada Michelia. Dia merasa Michelia mengetahui sesuatu. “Kamu ....”

“Aku sahabatmu. Aku tahu walaupun kamu enggak pernah bilang. Meskipun kamu selalu di sini, kamu selalu melihat ke arah yang lain. Kamu sedang mencari seseorang yang selama ini mungkin terhubung denganmu melalui hujan.

“Dalam hal ini, aku enggak bisa bantu apa-apa, tapi kalau kamu yakin dia ada, aku juga meyakini hal yang sama. Aku yakin kalian akan bertemu,” tutur Michelia tanpa melihat pada Ame. Dia hanya melihat ke depan, seakan-akan berkata pada seseorang yang entah ada di mana. Namun, justru karena itu dia mampu berbicara dengan hati Ame.

“Makasih, Michel,” sahut Ame sambil melihat kembali ke jalan raya meskipun entah apa yang dilihatnya di antara lalu-lalang kendaraan. “Aku yakin dia ada.”

Michelia tersenyum, kemudian bertanya, “Gimana? Udah dapat inspirasi selama di perpustakaan tadi?”

“Yah, gitu, deh, ternyata bikin lirik lagu itu enggak gampang,” jawab Ame menghela napas. “Kamu sendiri gimana? Bukannya bulan depan ada tanding lari antarsekolah?”

“Enggak gimana-gimana, sih, tadi latihan kayak biasa, cuma mulai minggu depan bakal tambah jadwal latihan. Kalau soal tugas bikin lirik, aku tinggal minta tolong sepupu.” Michelia tertawa kecil lalu berhenti melangkah. Rumahnya dan rumah Ame berbeda arah. Dia menoleh dan tersenyum pada Ame sebelum menyeberang.

Setelah berada di seberang jalan, Michelia melambaikan tangan pada Ame sambil tersenyum lebar. Ame membalas lambaian tangan itu. Namun, ketika Michelia berbalik badan dan mulai melangkah pergi, Ame tertegun.

Entah apa yang terjadi pada dirinya, Ame membeku. Bukan karena hujan kembali mengguyur tubuhnya. Bukan karena dia kembali sendiri melewati senja yang kelabu. Dia mematung karena jantungnya terasa berhenti berdetak ketika sekelebat melihat seseorang di seberang jalan.

***

         “Gila, lo emang pawang hujan atau gimana, sih? Kan, gue udah bilang, kalau hujan, ya enggak usah jadi ke sini,” sambut Bayu ketika yang ditemukannya di depan pintu adalah Rinu.

        Orang-orang mengenalnya sebagai Rinu, si pengagum hujan. Lelaki itu selalu memperhatikan setiap rintik yang menyapa kekeringan. Dia senantiasa berlama-lama di dekat jendela hanya untuk menyaksikan pertunjukan hujan.  Entah apa yang sebenarnya dilihat, tetapi sesuatu selalu menggerakkannya untuk melakukan hal itu, seperti ada yang memanggilnya, meminta untuk dimengerti walaupun hanya dari kejauhan, meminta untuk bertemu tanpa berakhir dengan sebuah perpisahan.

        Rinu hanya menyengir kuda, tidak merasa bersalah sedikit pun. “Hujan atau enggak, sama aja buat gue,” tandasnya cuek.

        Bayu hanya mengangkat bahu dan mempersilakan karibnya itu masuk. Saat hendak menaiki tangga yang menuju kamarnya, Dhesta terlihat di belokan tangga, membuat Bayu berhenti.

        Dhesta, kakak Bayu yang sudah bekerja di sebuah perusahaan ternama, mendapati kehadiran Rinu, kemudian mengangkat alisnya sebagai bentuk sapaan.

        “Eh, Bang Dhesta, tumben udah balik?” Rinu heran juga melihat batang hidung Dhesta yang biasanya tidak ada di rumah karena sering lembur di kantor.

        Sembari berjalan ke arah dapur, Dhesta menyahut, “Kangen lo, ya? Gue WFH hari ini.”

        “Dih, amit-amit,” balas Rinu sengit.

        “Bang, PS 5, Bang. Beliin, Bang.” Bayu tiba-tiba menimbrung.

        Sebelum menyaksikan adu mulut kakak beradik itu, Rinu naik lebih dahulu dan hanya mendengar samar-samar saat Dhesta mengatakan, “Halah, bocah, cari duit, tuh, enggak gampang. Sono nabung kalau lo mau.”

        Pintu kamar Dhesta yang bersebelahan dengan kamar Bayu terbuka sedikit. Rinu jadi tergoda untuk mengintip. Matanya mengitari kamar yang minimalis itu. Disebut minimalis karena tidak banyak barang di dalamnya, seperti tidak ada kehidupan, selain meja kerja yang di atasnya terdapat komputer berlayar besar, juga seperangkat kibor, tetikus, dan kursi khusus pemain gim.

        “Ngelihatin apa lo?” Bayu jadi ikut mengintip kamar kakaknya.

        Rinu sontak berbalik dan berjalan ke kamar Bayu. Setelah Bayu masuk dan menutup pintu, Rinu setengah berbisik, “Bang Dhesta masih jomlo? Kayak enggak ada apa, kek, gitu, kehidupannya di kamar selain kerja sama ngegim.”

        “Ngapain lo bisik-bisik segala? Orangnya juga di bawah lagi bikin mi,” sahut Bayu. “Eh, dipikir-pikir enak juga, ya, makan mi instan hujan-hujan gini. Tahu gitu, tadi gue nebeng sekalian punya lo.”

        Rinu membayangkannya, memakan mi kuah instan sembari memandangi langit yang hujan dari jendela kamar Bayu. Enak juga. Namun, bukan itu tujuannya kemari. Lagi pula, pertemuannya dengan Dhesta jadi menimbulkan pertanyaan tersendiri.

        “Jawab pertanyaan gue bisa, kali.” Akhirnya Rinu bersuara.

        “Oh!” Bayu menepuk dahi. “Iya, iya, Bang Dhesta masih jomlo, sampai kiamat kayaknya. Enggak tahu, deh, terserah dia,” ujarnya asal-asalan.

        “Ja—”

        “Eh, eh, tapi tunggu!” sela Bayu, tiba-tiba teringat sesuatu. “Gue punya asumsi, nih.”

        “Sikat, Bos.” Rinu tak sabar mendengarnya.

        Bayu berdeham sebelum menjelaskan, “Jadi, akhir-akhir ini, kayak yang lo lihat tadi, abang gue, tuh, sering WFH, padahal dulu dia lebih milih ngantor daripada di rumah. Ini asumsi gue aja, tapi kayaknya dia lagi deketin cewek, terus sempet berhasil, terus kandas.”

        “Enteng banget ngerangkum kisah cinta Bang Dhesta dalam satu kalimat. Udah cocok lo jadi mahasiswa S-2,” seloroh Rinu.

        Hidung Bayu rasanya kembang kempis, tetapi ekspresi bangganya itu segera dia tepis. “Gue enggak pernah ngelihat Bang Dhesta yang kayak gitu soalnya. Dia udah berkali-kali gonta-ganti pacar, tapi yang ini agak lain.”

        “Agak lain gimana?” Rinu makin penasaran.

        Bayu mengingat-ingat kembali tingkah kakak pertamanya yang selama ini tak luput dari pengamatannya.

        “Gue enggak ngerti kenapa Bang Dhesta, tuh, sekeras kepala itu, sumpah.” Bayu mengeluh usai bercerita.

        Love language-nya enggak cocok, kali, jadi kandas,” balas Rinu. “Oh, atau MBTI sama zodiaknya enggak pas.”

        Bayu memutar mata malas. “Ribet amat, elah, love language-love language. Kalau ada apa-apa, ya ngobrol, apa susahnya? Komunikasi adalah kunci.”

        “Kata calon mahasiswa ilkom,” sindir Rinu. Baginya, berkomunikasi tidak semudah itu, tidak jika orang yang dia sukai bahkan tidak tahu dirinya hidup dan bernapas di bumi ini. “Tidak semudah itu.”

        Bayu menukas, “Udahlah, enggak usah dibahas soal itu. Jadi, gimana buat tugas bikin lagu itu?”

        “Gue baru kepikir barusan, sih, makanya langsung ke sini, entar keburu lupa kalau dibawa balik ke rumah,” jawab Rinu, lalu mengeluarkan buku tulis dari tas sekolahnya.

        Hujan makin deras, Bayu beranjak menutup jendela sehingga yang terdengar setelahnya adalah rintik-rintik hujan terbawa angin yang menghantam kaca jendela, lalu meluncur perlahan-lahan membasahi kosen. Rinu masih berkonsentrasi menulis, sudah ada beberapa kalimat tertulis.

        “Jokiin punya gue kayak biasa, ya, entar gue jokiin melodinya buat lo,” ujar Bayu sembari melangkah mengambil gitar di sebelah meja belajar.

        Rinu hanya mengacungkan jempol, sibuk berkutat dengan ide yang melompat-lompat di kepala. Diiringi petikan senar gitar dari Bayu, Rinu makin tenggelam dalam lautan kata-kata.

        “Punya gue enggak usah bagus-bagus amatlah, entar malah terlalu puitis kalau dijadiin lagu,” kata Bayu sambil menenteng gitar lalu bersila di dekat Rinu. “Mana sini gue lihat.”

        Kertas yang dirobek Rinu dari buku tulisnya itu segera diambil Bayu. Setelah berdeham, Bayu membaca lirik yang tertera dengan suara keras.

 

        Tawamu, lagu yang akan selalu kuputar

        Bahkan, ketika bumi telah berhenti berputar

        Ke mana pun aku pergi, senyummu yang mengantar

        Tidak peduli apa pun di depan, kau membuatku tak gentar

 

        Senyummu yang cerah mengalahkan sinar matahari

        Jika awan mendung datang, cukup dirimu yang kupandang

        Melihatmu yang semangat berlari menjadikanku ingin berlari

        Sampai jauh, juga sedari pagi hingga kau menghabiskan petang

 

        Karenamu, langkahku lebih ringan dan tak lagi kehilangan harapan

        Bersamamu, aku ingin melewati hari tanpa merasa menanggung beban

        Sederhana saja, aku mau menemanimu mencapai cita-cita tertinggi sebab

        Menyaksikanmu benderang adalah hal terindah yang ingin selalu kukenang

 

        “Anjay!” Bayu bersorak, seolah-olah membacakan lirik tersebut dengan lantang masih belum membuatnya puas.

        Rinu hanya mengangkat alis dan tersenyum tipis. “Judulnya lo pikir sendiri. Gue mau balik.”

        Saat Rinu hendak memegang gagang pintu, pintu kamar Bayu seketika terbuka.

        “Yang tadi apaan?” tanya Dhesta tanpa tedeng aling-aling.

        Rinu dan Bayu saling melirik bingung, sementara Dhesta berdiri mematung, menunggu jawaban.

        “Apanya yang apaan?” Akhirnya Bayu bertanya.

        Dhesta menarik napas gemas. “Itu yang tadi lo teriak-teriak, lagi latihan baca puisi?”

        “Oh?” Bayu langsung berdiri, mendekati Rinu dan Dhesta ke arah pintu. “Keren, kan, gue bacainnya?”

        Rinu yang malah menimpali, “Itu bukan puisi, Bang.”

        “Terus apa?” Dahi Dhesta mengerut bingung.

        Bayu pun menjawab, “Itu lirik buat tugas bikin lagu, Bang. Kenapa emang?”

        “Enggak mungkin lo yang bikin,” tukas Dhesta, lalu pandangannya beralih kepada Rinu. “Udah mau balik?”

        Rinu mengangguk. “Iya, Bang.”

        “Ikut gue.” Dhesta berjalan ke luar kamar lalu melirik Rinu yang malah terbengong-bengong. “Buruan.”

        Rinu buru-buru keluar dari kamar Bayu, meninggalkan temannya itu yang setengah berteriak, “Lo juga enggak mungkin bisa bikin, Bang!” sambil menutup pintu.

        Sembari mengekori Dhesta yang menuruni tangga, Rinu bertanya-tanya. Di ruang tamu, Dhesta melirik kanan-kiri, seolah-olah memastikan Bayu tidak tiba-tiba ada dan mendengar obrolan mereka.

        “Gue mau minta tolong, tapi ini antara kita aja,” katanya, tidak berbasa-basi sama sekali. “Tolong jokiin gue.”

        “Ha?” Rinu menganga. “Enggak salah, Bang? Gue masih SMA, mana ngerti kerja—”

        “Lirik. Puisi. You name it.” Dhesta menyela.

        Rinu ber-“oh”. Namun, sejujurnya dia masih belum memiliki gambaran mengapa, tentang apa, dan untuk apa—atau mungkin untuk siapa—Dhesta meminta hal itu.

        “Bisa?” tanya Dhesta memastikan. “Kalau udah sampai rumah, kabarin gue, entar gue kirimin detailnya.”

        Rinu mengacungkan jempol lalu berpamitan.

***

        Ame memutuskan untuk kembali berjalan. Namun, seseorang tanpa sengaja menubruknya dari belakang. Gadis itu sontak mendongak, kemudian mendapati seseorang yang lebih tinggi satu kepala darinya.

        “Maaf,” ujar Rinu. Gara-gara penasaran dengan apa yang diminta Dhesta, dia berjalan tergesa-gesa, tanpa memedulikan sekitar. Satu yang dia ingat hanyalah kertas tugas lirik di dalam saku seragamnya jangan sampai kehujanan karena dia tidak bisa mengulang untuk menuliskannya.

        Ame mematung. Rinu terpasung. Keduanya membeku dalam waktu. Di tengah rinai hujan, sepasang mata mereka bertemu. Seperti ada pusaran yang menenggelamkan, sekaligus membawa mereka pada sebuah kesadaran.

        Senja menjadi saksi bahwa ada rindu yang berjatuhan. Rindu yang deras seperti hujan; tak pernah merasa lelah, apalagi menyerah meskipun berkali-kali jatuh ke tanah.

 


No comments:

Post a Comment

THEME BY RUMAH ES