Namanya Ame, seorang gadis yang tak
pernah melebarkan payung ketika hujan mengguyur. Seperti kali ini, dia berjalan
di tengah hujan sore hari. Baginya, hujan bukanlah sesuatu yang harus dihindari,
apalagi ditakuti.
Tak banyak yang
tahu bahwa hujan dapat menyampaikan suara hati. Tentu saja, di antara rintik
hujan yang berjatuhan, ada suara hati Ame yang begitu membingungkan, tentang
sebuah rindu yang tak bisa dijelaskan.
“Ame!”
Suara panggilan
itu menghentikan langkah Ame. Gadis itu menoleh ke sumber suara. Rupanya
Michelia.
“Mentang-mentang
besok hari Sabtu, jadi enggak peduli kalau seragamnya basah.” Michelia
berkomentar setelah menyejajarkan langkah dengan Ame.
Ame tersenyum
kecil menyadari rintik hujan tak lagi berjatuhan di atas kepalanya. Selalu saja
Michelia takpeduli jika dia sangat suka berhujan-hujanan daripada harus
berlindung di bawah payung yang dilebarkan.
“Pokoknya kalau aku
ketemu kamu pas lagi hujan, kamu enggak boleh ngelarang aku buat mayungin kamu.
Titik.” Michelia kembali berceracau, mendeklarasikan kepeduliannya pada Ame.
Ame diam saja
mendengarkan, tidak menanggapi dengan kata barang sepatah. Dia hanya terus
melangkah ditemani Michelia yang juga melangkah di sisinya.
“Ame ...,” panggil
Michelia pelan, berharap Ame tak hanya diam tanpa ada satu pun kalimat yang
dilontarkan. “Aku harap kamu segera bertemu dengannya.”
Kontan Ame menoleh
pada Michelia. Dia merasa Michelia mengetahui sesuatu. “Kamu ....”
“Aku sahabatmu.
Aku tahu walaupun kamu enggak pernah bilang. Meskipun kamu selalu di sini, kamu
selalu melihat ke arah yang lain. Kamu sedang mencari seseorang yang selama ini
mungkin terhubung denganmu melalui hujan.
“Dalam hal ini,
aku enggak bisa bantu apa-apa, tapi kalau kamu yakin dia ada, aku juga meyakini
hal yang sama. Aku yakin kalian akan bertemu,” tutur Michelia tanpa melihat
pada Ame. Dia hanya melihat ke depan, seakan-akan berkata pada seseorang yang
entah ada di mana. Namun, justru karena itu dia mampu berbicara dengan hati
Ame.
“Makasih, Michel,”
sahut Ame sambil melihat kembali ke jalan raya meskipun entah apa yang
dilihatnya di antara lalu-lalang kendaraan. “Aku yakin dia ada.”
Michelia tersenyum,
kemudian bertanya, “Gimana? Udah dapat inspirasi selama di perpustakaan tadi?”
“Yah, gitu, deh,
ternyata bikin lirik lagu itu enggak gampang,” jawab Ame menghela napas. “Kamu
sendiri gimana? Bukannya bulan depan ada tanding lari antarsekolah?”
“Enggak gimana-gimana,
sih, tadi latihan kayak biasa, cuma mulai minggu depan bakal tambah jadwal
latihan. Kalau soal tugas bikin lirik, aku tinggal minta tolong sepupu.” Michelia
tertawa kecil lalu berhenti melangkah. Rumahnya dan rumah Ame berbeda arah. Dia
menoleh dan tersenyum pada Ame sebelum menyeberang.
Setelah berada di
seberang jalan, Michelia melambaikan tangan pada Ame sambil tersenyum lebar.
Ame membalas lambaian tangan itu. Namun, ketika Michelia berbalik badan dan
mulai melangkah pergi, Ame tertegun.
Entah apa yang
terjadi pada dirinya, Ame membeku. Bukan karena hujan kembali mengguyur
tubuhnya. Bukan karena dia kembali sendiri melewati senja yang kelabu. Dia
mematung karena jantungnya terasa berhenti berdetak ketika sekelebat melihat
seseorang di seberang jalan.
***
“Gila,
lo emang pawang hujan atau gimana, sih? Kan, gue udah bilang, kalau hujan, ya
enggak usah jadi ke sini,” sambut Bayu ketika yang ditemukannya di depan pintu
adalah Rinu.
Orang-orang
mengenalnya sebagai Rinu, si pengagum hujan. Lelaki itu selalu memperhatikan
setiap rintik yang menyapa kekeringan. Dia senantiasa berlama-lama di dekat
jendela hanya untuk menyaksikan pertunjukan hujan. Entah apa yang sebenarnya dilihat, tetapi
sesuatu selalu menggerakkannya untuk melakukan hal itu, seperti ada yang
memanggilnya, meminta untuk dimengerti walaupun hanya dari kejauhan, meminta
untuk bertemu tanpa berakhir dengan sebuah perpisahan.
Rinu
hanya menyengir kuda, tidak merasa bersalah sedikit pun. “Hujan atau enggak,
sama aja buat gue,” tandasnya cuek.
Bayu
hanya mengangkat bahu dan mempersilakan karibnya itu masuk. Saat hendak menaiki
tangga yang menuju kamarnya, Dhesta terlihat di belokan tangga, membuat Bayu
berhenti.
Dhesta,
kakak Bayu yang sudah bekerja di sebuah perusahaan ternama, mendapati kehadiran
Rinu, kemudian mengangkat alisnya sebagai bentuk sapaan.
“Eh,
Bang Dhesta, tumben udah balik?” Rinu heran juga melihat batang hidung Dhesta
yang biasanya tidak ada di rumah karena sering lembur di kantor.
Sembari
berjalan ke arah dapur, Dhesta menyahut, “Kangen lo, ya? Gue WFH hari ini.”
“Dih,
amit-amit,” balas Rinu sengit.
“Bang,
PS 5, Bang. Beliin, Bang.” Bayu tiba-tiba menimbrung.
Sebelum
menyaksikan adu mulut kakak beradik itu, Rinu naik lebih dahulu dan hanya
mendengar samar-samar saat Dhesta mengatakan, “Halah, bocah, cari duit, tuh,
enggak gampang. Sono nabung kalau lo mau.”
Pintu
kamar Dhesta yang bersebelahan dengan kamar Bayu terbuka sedikit. Rinu jadi
tergoda untuk mengintip. Matanya mengitari kamar yang minimalis itu. Disebut
minimalis karena tidak banyak barang di dalamnya, seperti tidak ada kehidupan,
selain meja kerja yang di atasnya terdapat komputer berlayar besar, juga
seperangkat kibor, tetikus, dan kursi khusus pemain gim.
“Ngelihatin
apa lo?” Bayu jadi ikut mengintip kamar kakaknya.
Rinu
sontak berbalik dan berjalan ke kamar Bayu. Setelah Bayu masuk dan menutup
pintu, Rinu setengah berbisik, “Bang Dhesta masih jomlo? Kayak enggak ada apa,
kek, gitu, kehidupannya di kamar selain kerja sama ngegim.”
“Ngapain
lo bisik-bisik segala? Orangnya juga di bawah lagi bikin mi,” sahut Bayu. “Eh,
dipikir-pikir enak juga, ya, makan mi instan hujan-hujan gini. Tahu gitu, tadi
gue nebeng sekalian punya lo.”
Rinu
membayangkannya, memakan mi kuah instan sembari memandangi langit yang hujan
dari jendela kamar Bayu. Enak juga. Namun, bukan itu tujuannya kemari. Lagi
pula, pertemuannya dengan Dhesta jadi menimbulkan pertanyaan tersendiri.
“Jawab
pertanyaan gue bisa, kali.” Akhirnya Rinu bersuara.
“Oh!”
Bayu menepuk dahi. “Iya, iya, Bang Dhesta masih jomlo, sampai kiamat kayaknya.
Enggak tahu, deh, terserah dia,” ujarnya asal-asalan.
“Ja—”
“Eh,
eh, tapi tunggu!” sela Bayu, tiba-tiba teringat sesuatu. “Gue punya asumsi, nih.”
“Sikat,
Bos.” Rinu tak sabar mendengarnya.
Bayu
berdeham sebelum menjelaskan, “Jadi, akhir-akhir ini, kayak yang lo lihat tadi,
abang gue, tuh, sering WFH, padahal dulu dia lebih milih ngantor daripada di
rumah. Ini asumsi gue aja, tapi kayaknya dia lagi deketin cewek, terus sempet
berhasil, terus kandas.”
“Enteng
banget ngerangkum kisah cinta Bang Dhesta dalam satu kalimat. Udah cocok lo
jadi mahasiswa S-2,” seloroh Rinu.
Hidung
Bayu rasanya kembang kempis, tetapi ekspresi bangganya itu segera dia tepis.
“Gue enggak pernah ngelihat Bang Dhesta yang kayak gitu soalnya. Dia udah
berkali-kali gonta-ganti pacar, tapi yang ini agak lain.”
“Agak
lain gimana?” Rinu makin penasaran.
Bayu
mengingat-ingat kembali tingkah kakak pertamanya yang selama ini tak luput dari
pengamatannya.
“Gue
enggak ngerti kenapa Bang Dhesta, tuh, sekeras kepala itu, sumpah.” Bayu
mengeluh usai bercerita.
“Love
language-nya enggak cocok, kali, jadi kandas,” balas Rinu. “Oh, atau MBTI
sama zodiaknya enggak pas.”
Bayu
memutar mata malas. “Ribet amat, elah, love language-love language.
Kalau ada apa-apa, ya ngobrol, apa susahnya? Komunikasi adalah kunci.”
“Kata
calon mahasiswa ilkom,” sindir Rinu. Baginya, berkomunikasi tidak semudah itu,
tidak jika orang yang dia sukai bahkan tidak tahu dirinya hidup dan bernapas di
bumi ini. “Tidak semudah itu.”
Bayu
menukas, “Udahlah, enggak usah dibahas soal itu. Jadi, gimana buat tugas bikin
lagu itu?”
“Gue
baru kepikir barusan, sih, makanya langsung ke sini, entar keburu lupa kalau
dibawa balik ke rumah,” jawab Rinu, lalu mengeluarkan buku tulis dari tas
sekolahnya.
Hujan
makin deras, Bayu beranjak menutup jendela sehingga yang terdengar setelahnya
adalah rintik-rintik hujan terbawa angin yang menghantam kaca jendela, lalu
meluncur perlahan-lahan membasahi kosen. Rinu masih berkonsentrasi menulis,
sudah ada beberapa kalimat tertulis.
“Jokiin
punya gue kayak biasa, ya, entar gue jokiin melodinya buat lo,” ujar Bayu sembari
melangkah mengambil gitar di sebelah meja belajar.
Rinu
hanya mengacungkan jempol, sibuk berkutat dengan ide yang melompat-lompat di
kepala. Diiringi petikan senar gitar dari Bayu, Rinu makin tenggelam dalam
lautan kata-kata.
“Punya
gue enggak usah bagus-bagus amatlah, entar malah terlalu puitis kalau dijadiin
lagu,” kata Bayu sambil menenteng gitar lalu bersila di dekat Rinu. “Mana sini
gue lihat.”
Kertas
yang dirobek Rinu dari buku tulisnya itu segera diambil Bayu. Setelah berdeham,
Bayu membaca lirik yang tertera dengan suara keras.
Tawamu,
lagu yang akan selalu kuputar
Bahkan,
ketika bumi telah berhenti berputar
Ke
mana pun aku pergi, senyummu yang mengantar
Tidak
peduli apa pun di depan, kau membuatku tak gentar
Senyummu
yang cerah mengalahkan sinar matahari
Jika
awan mendung datang, cukup dirimu yang kupandang
Melihatmu
yang semangat berlari menjadikanku ingin berlari
Sampai
jauh, juga sedari pagi hingga kau menghabiskan petang
Karenamu,
langkahku lebih ringan dan tak lagi kehilangan harapan
Bersamamu,
aku ingin melewati hari tanpa merasa menanggung beban
Sederhana
saja, aku mau menemanimu mencapai cita-cita tertinggi sebab
Menyaksikanmu
benderang adalah hal terindah yang ingin selalu kukenang
“Anjay!”
Bayu bersorak, seolah-olah membacakan lirik tersebut dengan lantang masih belum
membuatnya puas.
Rinu
hanya mengangkat alis dan tersenyum tipis. “Judulnya lo pikir sendiri. Gue mau balik.”
Saat
Rinu hendak memegang gagang pintu, pintu kamar Bayu seketika terbuka.
“Yang
tadi apaan?” tanya Dhesta tanpa tedeng aling-aling.
Rinu
dan Bayu saling melirik bingung, sementara Dhesta berdiri mematung, menunggu
jawaban.
“Apanya
yang apaan?” Akhirnya Bayu bertanya.
Dhesta
menarik napas gemas. “Itu yang tadi lo teriak-teriak, lagi latihan baca puisi?”
“Oh?”
Bayu langsung berdiri, mendekati Rinu dan Dhesta ke arah pintu. “Keren, kan,
gue bacainnya?”
Rinu
yang malah menimpali, “Itu bukan puisi, Bang.”
“Terus
apa?” Dahi Dhesta mengerut bingung.
Bayu
pun menjawab, “Itu lirik buat tugas bikin lagu, Bang. Kenapa emang?”
“Enggak
mungkin lo yang bikin,” tukas Dhesta, lalu pandangannya beralih kepada Rinu. “Udah
mau balik?”
Rinu
mengangguk. “Iya, Bang.”
“Ikut gue.” Dhesta berjalan ke luar kamar lalu melirik Rinu yang malah terbengong-bengong. “Buruan.”
Rinu
buru-buru keluar dari kamar Bayu, meninggalkan temannya itu yang setengah
berteriak, “Lo juga enggak mungkin bisa bikin, Bang!” sambil menutup pintu.
Sembari
mengekori Dhesta yang menuruni tangga, Rinu bertanya-tanya. Di ruang tamu,
Dhesta melirik kanan-kiri, seolah-olah memastikan Bayu tidak tiba-tiba ada dan
mendengar obrolan mereka.
“Gue
mau minta tolong, tapi ini antara kita aja,” katanya, tidak berbasa-basi sama
sekali. “Tolong jokiin gue.”
“Ha?”
Rinu menganga. “Enggak salah, Bang? Gue masih SMA, mana ngerti kerja—”
“Lirik.
Puisi. You name it.” Dhesta menyela.
Rinu
ber-“oh”. Namun, sejujurnya dia masih belum memiliki gambaran mengapa, tentang
apa, dan untuk apa—atau mungkin untuk siapa—Dhesta meminta hal itu.
“Bisa?”
tanya Dhesta memastikan. “Kalau udah sampai rumah, kabarin gue, entar gue kirimin
detailnya.”
Rinu
mengacungkan jempol lalu berpamitan.
***
Ame
memutuskan untuk kembali berjalan. Namun, seseorang tanpa sengaja menubruknya
dari belakang. Gadis itu sontak mendongak, kemudian mendapati seseorang yang
lebih tinggi satu kepala darinya.
“Maaf,”
ujar Rinu. Gara-gara penasaran dengan apa yang diminta Dhesta, dia berjalan
tergesa-gesa, tanpa memedulikan sekitar. Satu yang dia ingat hanyalah
kertas tugas lirik di dalam saku seragamnya jangan sampai kehujanan karena dia tidak
bisa mengulang untuk menuliskannya.
Ame
mematung. Rinu terpasung. Keduanya membeku dalam waktu. Di tengah rinai hujan,
sepasang mata mereka bertemu. Seperti ada pusaran yang menenggelamkan,
sekaligus membawa mereka pada sebuah kesadaran.
Senja
menjadi saksi bahwa ada rindu yang berjatuhan. Rindu yang deras seperti hujan;
tak pernah merasa lelah, apalagi menyerah meskipun berkali-kali jatuh ke tanah.
No comments:
Post a Comment