Bukan main. Bisa-bisanya dia muncul
di kehidupan gue setelah ... berulah? Luar biasa. Kalau ada yang lebih keras
dari batu, itu pasti dia. Dipikirnya gue masih tertarik? Masih memikirkan dia?
Masih menginginkan dia? Hei, gue sudah bahagia dengan perempuan yang menemani
hari-hari gue sekarang, perempuan yang perhatian, perempuan yang tahu cara
mencintai, perempuan yang menyenangkan, perempuan yang terasa seperti kekasih
lama karena kisah kami berawal dari sebuah pertemanan. Bukankah itu paket
lengkap?
Sudah cukup. Apa pun yang dia
lakukan, gue enggak akan peduli. Tugas gue sekarang adalah mengabaikannya. Gue
yang memutuskan untuk pergi, gue yang menarik diri, jadi sudah pasti gue enggak
akan menjilat ludah sendiri. Mengucapkan selamat tinggal pun rasanya enggak perlu
karena gue ragu; apakah di hidupnya gue pernah seberharga itu?
Thanks for today, sayangkuuu
I love you so much, baby!
See? Betapa pacar gue tahu
bagaimana caranya membuat gue senang. Sesederhana mengirim pesan sudah membuat
gue merasa kalau gue dianggap. Pesan WhatsApp pun cukup, gue enggak pernah
meminta macam-macam. Gue tahu gue pantas dicintai, jadi gue akan mencintai
perempuan ini dengan setara.
***
Oh, baiklah. Hati ini ternyata belum
sepenuhnya lupa. Di antara ratusan manusia, harus kusaksikan dengan mata kepala
sendiri bahwa dia tertawa bersama perempuan lain. Seraut wajah yang mengingatkanku
akan hari-hari dikejar pekerjaan, dikelilingi orang-orang baru, dipisahkan oleh
jarak dan waktu, juga segudang kegiatan yang membuatku tetap sibuk. Aku tidak
pandai melupakan, maka rasa sakit itu kualihkan.
Kendati demikian, jantungku seperti
terbelah lagi menjadi kepingan-kepingan. Melihatnya sudah memiliki gandengan,
aku tersenyum miris. Betapa bodoh. Betapa naif. Betapa percuma. Kesempatan
kedua ternyata tidak ada, betapa pun aku menginginkannya. Tentu saja dia telah
lupa. Tentu saja dengan mudahnya dia akan berpindah haluan, berpaling ke lain
hati.
Kutepis segera bayang-bayang
dirinya. Cepat-cepat aku menyaru dalam keramaian, jangan sampai dia menyadari
keberadaanku. Lagi pula, aku masih punya hal-hal yang harus diselesaikan.
Calissa, kamu di mana? Aku udah
di resto, ya.
Langkahku kian gegas. Pesan dari
manajerku itu mengembalikanku ke dunia nyata. Apa lagi jika bukan pekerjaan?
Kali ini aku ditunjuk Mbak Hesti untuk mengikuti rapat sebuah proyek, yang
katanya nanti harus kutangani. Pekerjaan baru, tanggung jawab baru, rekan kerja
baru, kolaborasi baru; semuanya serbabaru di hidupku. Ya, kecuali satu.
***
“Lo? Mbak Calissa, kan?”
Tidak pernah sekali pun aku terpikir
akan bertemu kembali dengan perempuan ini. Maksudku, setelah mutasi, kami tidak
pernah mengobrol lagi, bertukar pesan pun tidak. Kupikir dia masih di
perusahaan yang sama denganku, ternyata dia sudah pindah dan malah di sini?
Wajah Calissa terlihat cerah seperti
biasa, seolah-olah matahari selalu mengikutinya di mana pun dia berada. Lalu,
senyum yang dia tampilkan ketika melihatku .... Gila. Kalau aku es batu,
meleleh sudah pasti jadi nasib akhirku.
“Cukup Kemal?”
Aku tergelak. Tidak akan kulupakan
bagaimana aku dahulu jatuh hati padanya. Dia yang ramah dan suka bercanda
membuat segala penat hilang seketika. Di antara pekerjaan yang tiada henti, di
tengah perjuangan meniti karier, aku hampir tidak punya waktu untuk mencari
pacar. Namun, pada saat itu, ketika melihat Calissa untuk kali pertama, aku
takbisa menghindar.
“Kalian udah saling kenal?” Wanita di
depan Calissa bertanya sambil melirik ke arahku dan perempuan di belakangnya.
Calissa mempersilakan wanita
tersebut duduk terlebih dahulu, lalu dia menarik kursi di sebelahnya,
berhadapan denganku, dan mengatakan, “Iya, Mbak. Saya kenal Mas Kemal dari
kantor sebelumnya.”
“Ah, bagus kalau gitu. Aku enggak
perlu kenalin kalian lagi.”
Beberapa menit selanjutnya diisi
dengan “serah terima” proyek yang sebelumnya sudah kubahas dengan sang manajer,
Mbak Hesti. Kemarin-kemarin Mbak Hesti memang mengatakan kalau bukan dirinya
yang akan menangani proyek ini secara langsung, melainkan seseorang yang lain.
Siapa yang menyangka kalau orang itu ternyata Calissa?
Bagus sekali. Aku dan Calissa
sama-sama menjadi perwakilan perusahaan untuk menangani proyek kolaborasi ini.
Kami akan sering bertemu untuk mengobrol, bertukar pikiran, dinner meeting
seperti sekarang, atau mungkin nanti dinner without meeting?