Friday, 7 March 2025

1:1.000

        Bukan main. Bisa-bisanya dia muncul di kehidupan gue setelah ... berulah? Luar biasa. Kalau ada yang lebih keras dari batu, itu pasti dia. Dipikirnya gue masih tertarik? Masih memikirkan dia? Masih menginginkan dia? Hei, gue sudah bahagia dengan perempuan yang menemani hari-hari gue sekarang, perempuan yang perhatian, perempuan yang tahu cara mencintai, perempuan yang menyenangkan, perempuan yang terasa seperti kekasih lama karena kisah kami berawal dari sebuah pertemanan. Bukankah itu paket lengkap?

        Sudah cukup. Apa pun yang dia lakukan, gue enggak akan peduli. Tugas gue sekarang adalah mengabaikannya. Gue yang memutuskan untuk pergi, gue yang menarik diri, jadi sudah pasti gue enggak akan menjilat ludah sendiri. Mengucapkan selamat tinggal pun rasanya enggak perlu karena gue ragu; apakah di hidupnya gue pernah seberharga itu?

        Thanks for today, sayangkuuu

        I love you so much, baby!

        See? Betapa pacar gue tahu bagaimana caranya membuat gue senang. Sesederhana mengirim pesan sudah membuat gue merasa kalau gue dianggap. Pesan WhatsApp pun cukup, gue enggak pernah meminta macam-macam. Gue tahu gue pantas dicintai, jadi gue akan mencintai perempuan ini dengan setara.

***

        Oh, baiklah. Hati ini ternyata belum sepenuhnya lupa. Di antara ratusan manusia, harus kusaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa dia tertawa bersama perempuan lain. Seraut wajah yang mengingatkanku akan hari-hari dikejar pekerjaan, dikelilingi orang-orang baru, dipisahkan oleh jarak dan waktu, juga segudang kegiatan yang membuatku tetap sibuk. Aku tidak pandai melupakan, maka rasa sakit itu kualihkan.

        Kendati demikian, jantungku seperti terbelah lagi menjadi kepingan-kepingan. Melihatnya sudah memiliki gandengan, aku tersenyum miris. Betapa bodoh. Betapa naif. Betapa percuma. Kesempatan kedua ternyata tidak ada, betapa pun aku menginginkannya. Tentu saja dia telah lupa. Tentu saja dengan mudahnya dia akan berpindah haluan, berpaling ke lain hati.

        Kutepis segera bayang-bayang dirinya. Cepat-cepat aku menyaru dalam keramaian, jangan sampai dia menyadari keberadaanku. Lagi pula, aku masih punya hal-hal yang harus diselesaikan.

        Calissa, kamu di mana? Aku udah di resto, ya.

        Langkahku kian gegas. Pesan dari manajerku itu mengembalikanku ke dunia nyata. Apa lagi jika bukan pekerjaan? Kali ini aku ditunjuk Mbak Hesti untuk mengikuti rapat sebuah proyek, yang katanya nanti harus kutangani. Pekerjaan baru, tanggung jawab baru, rekan kerja baru, kolaborasi baru; semuanya serbabaru di hidupku. Ya, kecuali satu.

***

        “Lo? Mbak Calissa, kan?”

        Tidak pernah sekali pun aku terpikir akan bertemu kembali dengan perempuan ini. Maksudku, setelah mutasi, kami tidak pernah mengobrol lagi, bertukar pesan pun tidak. Kupikir dia masih di perusahaan yang sama denganku, ternyata dia sudah pindah dan malah di sini?

        Wajah Calissa terlihat cerah seperti biasa, seolah-olah matahari selalu mengikutinya di mana pun dia berada. Lalu, senyum yang dia tampilkan ketika melihatku .... Gila. Kalau aku es batu, meleleh sudah pasti jadi nasib akhirku.

        “Cukup Kemal?”

        Aku tergelak. Tidak akan kulupakan bagaimana aku dahulu jatuh hati padanya. Dia yang ramah dan suka bercanda membuat segala penat hilang seketika. Di antara pekerjaan yang tiada henti, di tengah perjuangan meniti karier, aku hampir tidak punya waktu untuk mencari pacar. Namun, pada saat itu, ketika melihat Calissa untuk kali pertama, aku takbisa menghindar.

        “Kalian udah saling kenal?” Wanita di depan Calissa bertanya sambil melirik ke arahku dan perempuan di belakangnya.

        Calissa mempersilakan wanita tersebut duduk terlebih dahulu, lalu dia menarik kursi di sebelahnya, berhadapan denganku, dan mengatakan, “Iya, Mbak. Saya kenal Mas Kemal dari kantor sebelumnya.”

        “Ah, bagus kalau gitu. Aku enggak perlu kenalin kalian lagi.”

        Beberapa menit selanjutnya diisi dengan “serah terima” proyek yang sebelumnya sudah kubahas dengan sang manajer, Mbak Hesti. Kemarin-kemarin Mbak Hesti memang mengatakan kalau bukan dirinya yang akan menangani proyek ini secara langsung, melainkan seseorang yang lain. Siapa yang menyangka kalau orang itu ternyata Calissa?

        Bagus sekali. Aku dan Calissa sama-sama menjadi perwakilan perusahaan untuk menangani proyek kolaborasi ini. Kami akan sering bertemu untuk mengobrol, bertukar pikiran, dinner meeting seperti sekarang, atau mungkin nanti dinner without meeting?

https://www.pixiv.net/en/artworks/123109813

        Drrrt. Drrrt.

        Getaran ponsel di meja membuat kami serempak menoleh ke layar yang menyala. Rupanya berasal dari ponsel Mbak Hesti, yang langsung permisi dari meja untuk mengangkat telepon. Aku dan Calissa mengangguk bersamaan.

        “Kok, bisa?” Aku taktahan untuk bertanya.

        Calissa menoleh kepadaku. “Apanya?”

        “Udah mutasi, bukannya betah, malah pindah?”

        Dia tersenyum. “Ya ... namanya juga hidup. Manusia merencanakan, manusia lain yang menggagalkan.”

        Sial. Menahan tawa pun aku gagal. Perasaan yang selama ini kupendam perlahan-lahan kembali muncul ke permukaan.

        Beberapa saat kemudian, sudut mataku menangkap langkah Mbak Hesti yang terburu-buru. Setelah menghampiri meja, Mbak Hesti berkata, “Calissa, Mas Kemal, anakku sakit. Maaf sekali aku harus pulang duluan. Kalian lanjut saja, ya.”

        Aku dan Calissa bertukar pandang, kemudian kompak menjawab, “Baik, Mbak.”

        Mbak Hesti pun meninggalkan meja, mata Calissa mengikuti langkah manajernya sampai hilang di pintu restoran. Ketika matanya kembali memandang ke arahku, aku mendadak kebingungan.

        “Sekarang kayaknya harus kusapa dengan ‘Mas Kemal’, ya? Bau-bau jabatan baru setelah tiga tahun.”

        Selain bisa mencairkan es batu, Calissa andal mencairkan suasana. Aku tidak harus bersusah payah mencari topik pembicaraan.

        “Halah, enggak usah seformal itu,” sahutku terkekeh-kekeh. “Kamu gimana di kantor yang sekarang?”

        Calissa menjawab santai, “Ya gini, sih, malah ketemu orang dari kantor lama.”

        “Kamu ... hahaha ....” Aku tidak bisa melanjutkan kata-kata karena terlalu sibuk tertawa.

        “Ketawanya puas banget. Kalau boleh tahu, traumanya apa?”

Lagi. Sepertinya aku jatuh hati lagi. Kali ini aku tidak akan menyangkal dan memendam. I love her. I would die for her in a heartbeat. Mungkin pertemuan ini adalah kesempatan kedua bagiku untuk mendapatkan hati Calissa.

Dia melirik jam, kemudian berujar, “Oke, deh, Kemal, kurang lebih kayak yang tadi dibahas, ya, semoga kita bisa bekerja sama dengan baik. Aku balik dulu.”

“Eh, eh, tunggu.” Secepat kilat aku menahan Calissa yang hendak beranjak. “Aku antar kamu pulang, ya.”

Alis Calissa bertaut. “Oh, sekarang merangkap driver? Aku buka aplikasi yang mana, nih, buat booking?”

“Enggak perlu pakai aplikasi. Ini layanan gratis spesial partner bisnis,” sahutku serius. Lama-lama aku gemas juga dengan Calissa yang suka bercanda.

Dia rupanya ikut serius saat berkata, “Thanks, Kemal, buat layanan gratisnya, tapi aku—”

“Oke, no problem.” Aku langsung memotong. Sepertinya aku terlalu bersemangat. Aku tidak ingin Calissa merasa terbebani, jadi lebih baik kubiarkan. “Hati-hati di jalan, ya.”

Calissa mengacungkan jempol, lalu berpamitan. “Bye, Kemal.”

Setelah perempuan itu hilang dari pandangan, aku tersenyum sendirian. Ternyata “kapan-kapan” itu adalah hari ini, dimulai dari dinner meeting ini. Kami benar-benar mengobrol lagi.

It’s really nice to meet you, Calissa.

***

Ada yang enggak beres sama anggota tim gue yang satu ini. Dari pagi dia senyum-senyum sendiri.

“Gimana kemarin dinner meeting-nya? Aman?” Gue bertanya tanpa basa-basi.

“Eh? Oh? Mas Dhesta udah selesai meeting?” Kemal malah balik bertanya, tingkahnya seperti orang yang tertangkap basah melamun seharian.

Gue hanya berdeham, menanti jawaban.

“Aman, Mas, aman terkendali.” Kemal tersenyum lebar, saking lebarnya gue merasa ngeri. “BTW, makasih banyak, ya, Mas, udah memercayakan proyek ini ke saya. Saya akan mengerjakannya sebaik mungkin.”

Kemal memang tepercaya. Dia bekerja dengan baik selama ini. Kerja kerasnya patut dihargai. Jadi, gue memberikan tanggung jawab baru kepadanya. Gue bisa melihat potensi yang dia punya. Pekerjaan yang makin menumpuk membuat gue kewalahan. Karena itu, lebih baik sebagian didelegasikan. Gue enggak mau kerja berlebihan lagi. Gue enggak mau kehilangan waktu lagi.

Good job.” Gue mengambil ponsel, lalu mengecek kalender. “Next time gue usahain, deh, biar bisa ikut meeting sama ... Mbak Hesti, ya, nama PIC-nya?”

Kemal segera meluruskan, “Bukan, Mas. Sama kayak Mas sekarang, Mbak Hesti kemarin memercayakan proyek ini ke anggota timnya, jadi PIC-nya—”

“Oh, bukan Mbak Hesti? Siapa yang handle dari pihak sana kalau gitu?”

“Mas Dhesta kayaknya kenal juga, namanya Mbak Ca—”

“Dhesta!” Seruan itu terdengar nyaring.

Gue sontak berbalik.

Tasya rupanya. Dia membawa sesuatu di tangan. “Nih, buat lo. Tadi ada yang nitip. Cie ... sekarang makan siangnya dikirimin ayang.”

“Jomlo dilarang iri dengki,” balas gue sambil mengambil bungkusan makanan.

“Pamer teruuus, putus mampus!” Tasya yang mulutnya lebih pedas dari sambal memang kadang menyebalkan. Gara-gara dia, gue jadi lupa kalau tadi sedang mengobrol dengan Kemal.

“Sori, Mal, tadi siapa namanya?”

Belum sempat Kemal menjawab, Tasya sudah bersuara, “Urusan kerjaan nanti lagilah, lo makan dulu, gih. Kemal mau gue ajak maksi.”

No, thanks.” Jawaban Kemal mau tak mau membuat gue dan Tasya menoleh.

Wait, wait. Kemal, OMG, jangan bilang lo sekarang juga punya ayang?” Tasya menunjukkan ekspresi takpercaya.

Kemal mengulum senyum. “Bukan, sih, tapi—”

“Tapi ada hati yang harus dijaga?” sela Tasya.

Gue enggak berminat mengikuti pembicaraan mereka, lebih baik memisahkan diri. Nanti gue bisa tanya Kemal lagi.

Sekarang ada makanan yang sudah siap disantap. Ada notifikasi pesan WhatsApp. Ada hati yang harus dijaga.

***

https://www.pixiv.net/en/artworks/112329823

      Setelah istirahat tiga hari karena kelelahan, pagi ini aku kembali menginjakkan kaki di kantor. Energiku terkuras belakangan ini, padahal aku sendiri yang mengajukan diri.

         “Calissa, kamu udah baikan?” Mbak Hesti menjadi orang pertama yang menyapa.

         “Udah, nih, Mbak, udah siap kerja sampai titik darah penghabisan lagi sekarang,” jawabku riang.

         Mbak Hesti tertawa sebentar, kemudian berujar, “Ada titipan buat kamu.”

         “Titipan?” Aku malah membeo.

         Mbak Hesti mengarahkan matanya ke mejaku. “Iya, tuh, di meja kamu.”

         “Terima kasih udah disimpankan, Mbak,” ucapku, yang dibalas anggukan oleh Mbak Hesti.

         Aku pun menuju meja dan mendapati titipan yang dimaksud. Kantong kertas. Kulihat isinya, ada kotak hadiah. Terselip di antara pita, secarik kertas bertuliskan: Nice to meet you again, Calissa. Keep the good work!

         Dengan perasaan tidak enak, kubuka kotak hadiah itu. Mataku membelalak ketika melihat ID card lanyard dengan detail yang .... Aku hanya bisa membuang napas, seketika merasa lemas.          

         Bagaimana mungkin aku menerima ini semua, sementara hatiku masih terpaut kepada seseorang yang Kemal kenal?

***

Beberapa bulan kemudian.

Mampus. Sialan si Tasya. Hubungan gue benar-benar kandas. Setelah bersusah payah mencintai dengan setara, nyatanya pacar gue menyadarinya. Dia merasa kalau gue belum selesai dengan masa lalu. Gue masih ingat saat dia memutuskan untuk menyelesaikan hubungan kami.

         “Kamu tuh kadang enggak di sini, Dhesta.”

         Dahiku mengernyit. “Maksud kamu?”

         “Kamu sayang enggak, sih, sama aku?”

         “Of course I do,” jawabku tegas.

         “Tapi apakah aku satu-satunya buat kamu?”

         Wait. What? Pertanyaan macam apa itu?

         “See? Kamu enggak bisa jawab?” Perempuan di depan gue menatap dengan mata yang terlihat lelah.

         Gue enggak habis pikir. Hanya karena satu perempuan yang entah sekarang berada di mana, hubungan gue dengan perempuan yang menemani gue selama ini harus berakhir? Gue sudah enggak memedulikannya, enggak tahu-menahu apa pun lagi tentangnya. Bagaimana mungkin pacar gue berpikir kalau dia bukan satu-satunya?

         “Dhesta, aku paham kenapa awalnya semua lancar-lancar aja buat kita. Itu karena kita temen. Kita udah tahu satu sama lain. But everything is different when we’re in romantic relationship. Ternyata temen itu enggak selalu bisa jadi pasangan. Buat aku, kamu lebih cocok jadi temen daripada pasangan.”

         Kata-katanya seperti serangan peluru, tetapi gue enggak akan serapuh itu. Gue pernah patah hati lebih dari ini, tepat sebelum ini.

         Tinggal cari cewek baru, apa susahnya?

         Awalnya gue berpikir demikian. Yah, tetapi sekarang gue sudah enggak berminat lagi. Persetan cinta-cintaan. Persetan romantisme kehidupan.

         Walaupun begitu, jauh di lubuk hati, ada yang mengusik. Sumpah, gue mati-matian menyingkirkan Calissa dari pikiran. Akan tetapi, menyebut namanya saja hati gue enggak keruan. Sampai saat ini gue masih merenungkan, sebenarnya kenapa waktu itu gue harus meninggalkannya? Apakah yang terluka itu hati gue atau justru ego gue?

         Saking ruwetnya, gue enggak bisa membedakan. Gue enggak bisa melihat dengan jelas apa yang gue rasakan. Ini bukan pengalaman pertama, gue sudah merasakan cinta berkali-kali, tetapi enggak pernah sekacau ini. Gue terus mempertanyakan, “What have you done, Calissa?”

         Setelah Calissa pun, seperti biasa, gue mencari perempuan lain. Bukan hal yang sulit. Satu-satunya yang sulit di dunia ini rasanya cuma memahami Calissa. Jadi, di antara perjalanan gue melupakan dia, gue tengok sana-sini, mencari yang kira-kira bisa menghapuskan rasa kesepian.

         Gagal. Gagal. Gagal. Gue gagal menemukan seseorang untuk dijadikan pasangan, sampai akhirnya gue menjalin hubungan dengan perempuan terakhir, yang ternyata, gagal juga. Bayang-bayang Calissa enggak pernah seluruhnya hilang. 1:1.000. Dia satu yang berbeda, di antara seribu perempuan.

         Masalahnya, gue enggak tahu harus berbuat apa sekarang. Dari media sosialnya, dia justru terlihat makin cemerlang. Ternyata tanpa gue, hidup dia baik-baik saja. Senyumnya begitu lepas. Hari-harinya di kantor baru tampak menyenangkan. Gue bisa menyaksikan dirinya tumbuh menjadi bunga yang mekar.

         Di sini, gue hampir gila. Benar hubungan gue yang terakhir kandas, tetapi kerisauan yang gue rasakan bukan karena itu, melainkan karena kenangan bersama Calissa yang diam-diam menyerbu.

         Apakah Calissa sudah sepenuhnya lupa? Apakah Calissa menikmati hidupnya yang sekarang? Apakah Calissa pernah mengingat gue sedikit saja? Apakah Calissa sudah menemukan orang baru dan jatuh cinta?

         Enggak. Enggak. Gue enggak bisa menerima kenyataan yang satu ini, kalau memang benar adanya. Gue enggak bisa berbuat apa-apa. Kalau dia sudah sebahagia itu tanpa gue, apa lagi alasan gue untuk kembali masuk ke hidupnya?

***

         “Gila, gila, udah sukses sekarang.” Radit bertepuk tangan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

         Aku tertawa kecil sekaligus menyindirnya, “Parah, sih, gue sampai ditonton sama menantu idaman calon mertua.”

         “Heh, lo enggak usah ngungkit-ngungkit luka lama,” sahutnya sewot.

         Aku hanya mengedikkan bahu. Kembali bertemu dengan teman bertengkarku di kantor rasanya seperti minum es lemon di tengah terik matahari.

         “Ya tinggal cari yang baru di kantor lo sekarang. Siapa tahu bisa menyembuhkan hati yang pernah terluka.” Aku mengusulkan sesuatu yang bahkan tidak dapat kulakukan.

         Radit mendengus. “Enggak gitu konsepnya, Cal. Mending gue fokus karier aja sekarang.”

         “Bener, sih. Jangan pernah menggunakan orang baru untuk melupakan orang lama,” timpalku. Kalau yang satu ini, aku benar-benar melakukannya.

         Alisnya yang seperti ulat bulu pun tampak menyatu. “Bentar, bentar.”

         Aku memandangi Radit dengan raut wajah bertanya.

         “Hidup lo enggak ada romance-romance-nya, tapi kenapa gue curhatnya sama lo, ya? Yang lebih heran, kenapa lo bisa ngasih petuah ala orang bijak?” Radit terlihat bingung sendiri.

         Enggak ada yang tahu, bukan enggak ada romance-nya sama sekali. Aku meralat dalam hati. Memang tidak perlu ada yang tahu. Segala perasaan ini, semua carut-marut ini, seluruh kerumitan ini, tidak perlu diketahui orang lain. Aku sudah bangkit dari keterpurukan. Aku telah lepas dari keputusasaan. Namun, aku tidak akan lupa. Jika bukan karena terjatuh, aku tidak akan tahu bagaimana rasanya berdiri sendiri. Untuk hidup yang kulalui kini, aku ingin menjalaninya detik demi detik dengan penuh arti.

         “Oi! Malah ngelamun,” tegur Radit dengan tangan yang digoyang-goyangkan di depan wajahku.

         Aku hanya menyunggingkan senyum. “Lapar, enggak bisa mikir.”

         “Yee, kebiasaan ini anak, lemotnya kumat kalau lagi lapar. Ya udah, mau makan apa? Capek, kan, habis seminar,” ujar Radit berinisiatif.

         “Ramen enak, sih, gimana?” Aku memberi usul.

         Radit cepat menyahut, “Gas.”

         Kami pun berjalan bersama menuju mobil Radit. Sepanjang perjalanan, Radit mengoceh tak habis-habis. Manusia yang energinya selalu menyala ini menceritakan bagaimana dirinya memutuskan untuk keluar dari kantor lama kami dan berakhir di tempat kerjanya sekarang. Sesekali aku tersenyum, tiba-tiba bayang-bayang seseorang berkelebat.

         Kalau aku masih di sana, apakah semuanya tidak akan berakhir seperti ini?

         Kalau aku tidak mutasi, apalagi pindah, akankah masih ada kesempatan untuk bertemu kembali?

         Kalau aku berusaha lebih keras sebelum dia menemukan perempuan lain, mungkinkah yang kudengar sekarang adalah cerita tentang hari-harinya?

         “... sama lo?”

         Hening.

         “Calissa? Lo denger enggak, sih?”

         Tentu saja tidak. Dengan jujur kujawab, “Enggak. Apa pertanyaan lo tadi?”

         “Gue turunin juga lo di tengah jalan kalau gue dicuekin,” gerutunya.

         Aku menyahut santai, “Gampang. Gue tinggal makan sendiri. Gitu aja, kok, repot?”

         “Ck.” Radit berdecak kesal. “Ya itu tadi pertanyaan gue. Selama ini lo selalu sendiri, apa enggak ada yang mau sama lo?”

         “Emangnya kenapa?”

         “Kepo aja, sih. Masih inget, tuh, gue sama Mas Kemal. Kelihatan kalau dia mau sama lo.”

         “Emang.”

         “So?”

         “Sebenernya beberapa bulan terakhir juga kami kerja bareng. Terus ya gitu.” Aku menceritakan seadanya.

         Radit tampak ingin menghentikan mobilnya sekarang juga kalau bisa, saking penasarannya. Wajahnya bolak-balik melihat ke jalan dan kepadaku. “LO TOLAK MAS KEMAL? SEORANG MAS KEMAL? Lo tahu, kan, dia yang sekarang kayak apa?”

         “Enggak usah teriak-teriak kenapa, sih? Budek gue lama-lama,” protesku.

         “Ya lagian, bisa-bisanya lo tolak itu—”

         “Enggak gue tolak,” bantahku.

         Kerutan di kening Radit terlihat kentara. “Terus?”

         “Gue suruh mundur.”

         Matanya membelalak sempurna. “Demi apa?”

         “Demikian adanya.”

         “Minimal lo kasih kesempatan buat dia, Cal, enggak langsung kayak gitu.” Radit masih belum bisa menerima ceritaku yang mungkin menurutnya tidak masuk akal. “Siapa tahu nanti lo luluh juga setelah dia berjuang.”

         Aku meliriknya sekilas. “Enggak minat.”

         “Singkat, padat, enggak minat.” Radit tertawa sarkastis.

         Tiba di mal, kami berjalan menuju tempat ramen. Namun, langkahku terhenti seketika saat melihat jajaran donat cokelat di balik etalase sebuah toko.

https://www.pixiv.net/en/artworks/77179602

       Radit yang beberapa langkah di depanku pun berbalik, menyadari ketidakhadiranku di sisinya. “Nanti lagi donatnya, elah,” katanya sembari melangkah mendekatiku.

         Mau tak mau, mata ini harus kupalingkan dari donat cokelat ke arah Radit yang kini terlihat sedang berbicara dengan seseorang. Hanya bagian belakang kepala orang itu yang tampak dari sini. Samar-samar kudengar Radit bertanya, “Lagi mau beli sesuatu, Mas?”

         “Eh, Radit,” sahut orang itu. “Apa kabar lo? Udah lama enggak kelihatan sejak keluar.”

         Radit terlibat percakapan yang entah kapan berakhir, sementara perutku sudah teriak minta diisi. Kebiasaan. Radit kalau sudah mengobrol, dunia rasanya hanya miliknya dan orang yang diajak mengobrol. Aku yang menunggu jadi seperti menguping.

         “Aman, Mas. Kirain Mas mau beli karena ngelihatin donatnya kayak fokus banget. Wajah Radit terlihat jahil, aku jadi penasaran dengan siapa Radit berbicara.

         Oh, enggak, cuma lihat-lihat sekalian lewat. Suara sosok itu kembali terdengar.

         Saya duluan, ya, udah ditungguin, tuh.” Dagu Radit mengarah kepadaku.

         Perlahan, sosok itu menoleh. Aku tidak tahu apakah rasa syukur yang kurasakan saat ini adalah karena akhirnya percakapan mereka selesai sehingga aku bisa segera makan atau karena aku melihat seraut wajah yang selama ini kurindukan.


No comments:

Post a Comment

THEME BY RUMAH ES