Tak
pernah kutahu apa itu cinta sebelum denganmu bertatap muka. Kendati demikian,
bukan wajahmu yang membuatku luluh lantak sedemikian rupa. Benar aku melihat jagat
raya di sepasang netramu. Benar aku menyaksikan panas mentari meleleh di balik
tawamu. Benar aku menemukan bulan sabit di senyummu. Namun, bukan karena itu
semua aku jatuh hati kepadamu.
Tak pernah kutahu bagaimana caranya
mencintai sebelum merasakan kehadiranmu di hidupku. Jiwa yang murni umpama bayi
yang baru lahir. Hati yang putih seperti kertas tanpa setetes pun tinta. Tidak
ada tipu muslihat, tidak ada permainan, tidak ada apa pun yang kauberikan
selain satu-satunya ketulusan. Akan tetapi, aku belum memahaminya.
Tak pernah kutahu seperti apa
seharusnya aku memperlakukanmu. Kepadamu, aku membebaskan. Tahukah kau
bagaimana rasanya dapat melihatmu berlari dan tertawa dengan riang? Walaupun
tidak bersamaku, meskipun tanpa adanya aku di sisimu; mataku tak pernah lepas
mengikuti langkah kakimu. Hanya dengan memikirkanmu, seluruh diriku tahu
perasaan ini takkan sirna sesaat saja.
Tak pernah kutahu ternyata perpisahan
bisa menyisakan duka sedalam ini. Seberapa banyak pun aku menyangkal, kau tidak
akan pernah kembali. Sebagaimana pun aku berusaha menerima, ada kalanya hati
kecilku berharap kau akan menatapku lagi dengan pandangan sejuta kata. “Jadilah
egois dalam cinta,” ucapmu dahulu kala; satu kalimat yang membuatku terpasung
dalam tanya.
Tak pernah kutahu jika melupakan
seseorang jauh lebih sulit daripada apa pun yang pernah kulalui. Satu yang
kutahu: kau sama terlukanya denganku—atau mungkin lebih? Berkedip sekali saja,
kita akan sama-sama meneteskan air mata kala itu. Namun, kita sudah berjanji
untuk berbahagia demi satu sama lain, bukan? Sebuah janji kepada bulan.